Dalam hidup ini jiwa mencari rumah untuk pulang, melepaskan semua keluh kesah, dan mengobati luka dari semua kisah.
Tuhan memberikan semesta untuk duka, menjadikannya sandaran di tengah lelah, hingga raga yang dipaksa kuat ditumpu dengan kasih sayang.
Tak ada yang lebih membahagiakan selain kehangatan keluarga, memberikan cinta tanpa diminta, memberikan kenyaman dalam kekalutan.
Itulah rumah yang diperuntukan untuk bahagia.
Namun, tidak semua rumah menjadi ternyaman untuk pulang. Lahirnya tak disambut bahagia, hadirnya tak dinantikan suka cita. Semua memandangnya rendah, mencaci maki dipaksa untuk sempurna, hingga kekurangan merendahkan harga diri jiwa manusia.
Candra adalah jiwa yang terperangkap dalam raga yang penuh kekurangan. Hidup penuh perjuangan melawan keterbatasan, sampai lupa untuk tetap menjadi waras di tengah gilanya belajar.
Ia mengkesampingkan segala keinginannya demi sebuah pengakuan, bahwa ia pantas untuk dibanggakan.Namun tak semudah yang dikira, takdir mempermainkan kekurangannya yang tak bisa ia sempurnakan, hingga kekecewaan menelan perjuangan, tinggallah kegagalan menyudutkan jiwa yang lelah.
Kini, Candra hanya bisa terbaring lemah di tengah kegaduhan yang ia perbuat, sangat takut untuk sekedar menatap keluarganya, karena hanya kekecewaan di mata mereka.
Bagaskara di samping Candra menatap sendu, mata cekung itu selalu menghindari pandangannya, mengabaikannya yang berusaha menarik perhatiannya.
“Dek, ayo makan. Lauknya kesukaan kamu, loh.” Bagaskara menyodorkan sesendok nasi ke mulut Candra yang tertutup rapat.
Candra memalingkan muka, meliarkan pandangan, seolah tidak mempedulikan kembarannya. Yang hanya ia lakukan, diam merenungi kebodohannya.
“Dek ….” Bagaskara mengusap pipi tirus sang Kembaran setelah meletakkan semangkok bubur ke nakas. “Lihat Kakak.” Mengarahkan kepala bulat Candra menghadap kearahnya. “Kakak ada disini.” Menatapnya lembut.
Candra mulai terisak kembali, air matanya tumpah ruah setiap kali melihat bagaskara menenangkannya. Hanya kembarannya yang selalu berada dipihaknya, sekalipun dunia menghakiminya.
“Ka-kakak … hiks.”
Bagaskara bergerak ke tepi ranjang, duduk sambil mengusap lelahan air mata Candra. “It’s Okay, mereka sudah pergi. Nggak ada lagi yang marahin Adek, hanya ada Kakak yang menyayangi Adek.”
Bagaskara terenyuh melihat kegelisahan sang Adek. Selama ini Candra begitu keras menggapai keingginannya, tidak mempedulikan ucapan orang-orang yang selalu merendahkannya, tapi sekarang wajah yang selalu menampilkan ketegaran, hanya menunjukkan ketakutan.
Candra perlahan tenang menggenggam tangan Bagaskara, menatap mata tegas itu sebagai pelindung dari ketakutannya.
Bagaskara tersenyum membalas tatapan sang Kembaran, apalagi mata nan sayu itu semakin hilang dalam buaian usapannya.
“Cepat sembuh kesayangan Kakak.” Mencium kening sempit Candra, lalu berjalan keluar.
Hari ini sungguh melelahkan bagi Bagaskara, belum sehari kembarannya keluar dari rumah sakit, harus mendapat penanganan Dokter karena serangan panic attack, beruntung tak sampai membawanya kembali dirawat.
Bagaskara melihat kearah jendela, menampakkan matahari mulai merendah. Ahh …. Iya baru ingat, hari ini ada latihan basket untuk pertandingan minggu besok. Dengan cepat, ia bersiap-siap ke kamar, sebelum latihan dimulai ia harus ada di lapangan dalam waktu 15 menit.
Tak lama kepergian Bagaskara, Welly berjalan menuju pintu berwarna biru. Sedikit ragu memegang handle pintu, ketika ia tekan terbukalah sebuah ruangan yang didominasi rak buku, dan di sudut ruangan terletak ranjang tidur yang sedang dihuni oleh sang Tuan kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
Teen FictionSebuah kisah dibalut luka. Tentang lara dihantam kelabu, tentang hati dikuasai pilu, hingga berakhir penyesalan tak berlalu. Lahir dengan bentuk yang sama dengan jalan takdir berbeda. Si sempurna pembawa kebanggaan, si cacat merumpangkan kebahagiaa...