Sebuah Luka Tetap Salah

609 67 5
                                    

Tuhan tak pernah menjamin kehidupan akan baik sepenuhnya. Banyak batu sandung yang siap menjatuhkan asa dipaksa sempurna, lalu patah bersama harapan yang melambung tinggi menggapai semesta.

Apa yang diidamkan tak seindah dari yang didapatkan, harap yang ditunggu tak sesuai dengan kenyataan. Seakan berbalik menyerang, itu tidak pantas didapatkan.

Langkah demi langkah terhenti oleh kejamnya realita. Kembali bangkit menyeret paksa kecacatan walaupun dihina semesta. Hanya akan berhenti ketempat pulang sesungguhnya-Nya, tempat yang hanya ada suka cita.

Entahlah, terkadang Candra berpikir hidupnya hanya untuk berjuang sampai Tuhan datang menjeputnya pulang. Sementara rumah yang ia tempati sekarang, bukan tempatnya untuk pulang.

Setiap detik adalah kesempatan, dan jika satu detik terbuang sia-sia, maka Candra gagal melangkah menjadi kebanggaan orang tua.

Tak pernah Candra berpikir untuk seperti kehidupan anak-anak di luar sana. Istirahatnya hanya untuk tidur dan makan, selebihnya ia belajar matian-matian demi mendapatkan juara satu di sekolah, agar orang tuanya bangga kepadanya.

Nggak pa-pa jika Candra tidak bisa merasakan masa remaja umumnya. Baginya, mama dan papa adalah alasan yang membuatnya tidak bosan untuk belajar.   

Jejeran buku tertata rapi di rak buku, setiap seminggu sekali jumlahnya akan bertambah sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Jika diperhatikan , mungkin akan menjadi perpustakaan bukan kamar, jika tidak ada kasur disana. Kalau kata kakak Bagaskara, bawaannya ngantuk terus kalau masuk ke kamar Candra.

Tangan Candra dengan lincah mengambil beberapa buku paket, lalu memasukkannya ke dalam tas. Mengecek kembali jadwal belajar hari ini, takut-takut ada yang ketinggalan.

Cklek

Fokus Candra teralihkan mendengar pintu kamarnya di buka, tersenyum melihat kakak Bagaskara yang sudah menyandang tas ke dalam kamar.

“Kenapa pakai seragam sekolah? Adek kemarin demam tinggi loh,” decak Bagaskara. Tidak habis pikir dengan adeknya ini.

Baru kemarin malam ia dibuat kalang kabut menemukan Candra demam tinggi yang sedang menelangkupkan kepalanya di meja belajar. Bahkan sumpalan tisu di hidung Candra kemarin malam menandakan sedang tidak baik-baik saja.  

“Aku udah sembuh kok, lagian kan hari ini ada ulangan.  Seharian aku belajar supaya dapat nilai seratus. Masa aku nggak masuk sekolah gara-gara demam biasa.”

Bagaskara melangkah mendekati Candra, metakkan punggung tangannya ke kening Candra, hangat menjalar kulitnya. “Adek, mah, ngeyel kalau dibilangin. Masih demam juga!"

Candra mengambil tangan Bagaskara yang menyentuh keningnya, mengungkungnya di kedua tangannya. “Ayoklah Kak, ulangan hari ini penting.”

Bagaskara memalingkan wajahnya, lemah dengan bujukan Candra. “Awas nanti kalau tiba-tiba pingsan lagi kayak semalam.”

Senyum Candra semakin lebar, bergerak hormat layaknya prajurit kepada komandannya. “Siap kapten.” Berlalu pergi duluan keluar.

Sementara Bagaskara geleng-geleng kepala dibuatnya. Untuk sesaat Bagaskara memperhatikan kamar Candra, ruangan yang didominasi biru dan putih, tak lupa pula dengan lukisan pantai di dinding. Suasana kamar yang menenangkan, adeknya suka sekali dengan itu.

Melihat itu, membuat bagaskara merasa bersalah memberikan janji tanpa bisa menepatinya, yang pada akhirnya ia mengingkari janjinya karena orang tuanya membawanya liburan ke luar negeri.

Tak sekalipun Bagaskara menikmati liburannya kemarin, sementara adeknya disini dalam kesendirian. Tak seharusnya ia memberikan janji palsu, yang pada akhirnya menambah luka adeknya itu.

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang