Kebodohan Peruntuh kasih Sayang

551 61 3
                                    

Sebelum manusia lahir ke atas dunia, Tuhan telah memberikan gambaran semesta yang akan dilalui. Memberikan dua pilihan, lahir ke atas dunia penuh luka, atau hidup dalam keabadian.

Dunia adalah jembatan menuju kebahagiaan manusia, memberikannya harapan dalam cinta, mewujudkan kasih sayang dengan diterima. Namun, Tuhan punya kendali dan manusia hanya bisa menggapai angan yang belum pasti.

Di dalam dunia yang ingin digapai indah, ada semesta tak pernah salah menjalankan takdir semesta. Banyak kasih sayang tak sepenuhnya sampai, banyak cinta tak sejalan dengan perkataan.

Hati nurani terus memendam, menjerit dalam kebungkaman, hingga hancur karena keegoisan. Satu hal yang pasti manusia bahagia dalam kepalsuan.

Bagaskara terduduk di lantai, menatap kosong pintu IGD yang ditutup rapat, tangannya yang berlumuran darah ia biarkan begitu saja, tidak mempedulikan orang tuanya yang terus membujuknya duduk di kursi tunggu.

Kejadiannya begitu cepat hingga Bagaskara tidak bisa mencerna apa yang terjadi. Kembarannya, Candra, tidak baik-baik saja di dalam sana.

Masih terekam jelas bagaimana kening yang selalu ia cium dengan kasih sayang mengeluarkan darah, tidak itu saja, napas tercekat, dan dada bergerak lambat meruntuhkan tangis Bagaskara.

Sampai masker oksigen yang melingkupi hidung dan mulut Candra sia-sia membuka jalur napasnya.
Sampai dua jam berlalu Dokter belum keluar, membuat kekalutan Bagaskara menjadi-jadi, yang membuatnya muak, orang tuanya malah sibuk menghawatirkan keadaannya.

CKLEk

Pintu IGD dibuka lebar menampilkan para perawat mendorong brangkar yang dipenuhi alat medis, kesayangannya terbujur kaku disana, terpejam erat dalam damainya.

Bagaskara langsung menghentikan pergerakan suster, menelisik dari atas sampai bawah kondisi kembarannya jauh dari kata baik.

Radit dan Welly tak jauh berbeda dengan Bagaskara, tanpa sadar memegang selimut tipis yang hanya menutupi pinggang dan paha Candra.

Tangan Bagaskara bergetar membelai nan pucat, terhenti memperhatikan selang  menjejal mulut kembarannya.

“Dek … bangun … hiks.”

Dokter yang menangani Candra mengusap punggung Bagaskara. “Adek kamu kuat, dia sekarang lagi istirahat, biarkan perawat membawanya keruang ICU, ya?”

Bagaskara terdiam. “Separah itu, Dok?”
“Kalian silahkan keruangan saya, saya akan jelaskan kondisi pasien,” ucap Sang dokter, melihat orang tua pasien yang hanya membisu sedari tadi.

Tanpa menunggu lama Radit dan Welly mengikuti langkah dokter tersebut, begitu juga dengan Bagaskara.
Sesampainya di sana, ada jeda yang panjang, menghembuskan napas lelah, menatap keluarga pasien dengan tatapan rumit.

“Apa kalian tau Candra mengalami Gerd?” Dokter itu kembali menghela napas melihat keterkejutan mereka. “Candra  terkena Gerd, diperparah sekarang kerongkangannya menyempit karena terlambat ditangani. Sempat membuat Candra gagal napas, terpaksa kami harus memasukkan selang ventilator agar membuka jalan napasnya. Luka di keningnya untungnya tidak dalam. Setelah kami observasi lebih lanjut Gerd yang dialami Candra, ini disebabkan gangguan kecemasan, dengan berat hati .... Candra mengidap Gerd Anxiety. Untuk Sekarang kondisi Candra masih kritis.”

Dada Bagaskara serasa diremas mendengar penjelas dokter, “Adek … hiks.”

Radit tertegun. “Bagaimana bisa separah itu? Selama ini anak tidak pernah mengeluh sakit.”

“Pasti anak itu kan yang nyuruh Dokter berbohong?” timpal Welly tidak percaya.

Dokter geleng-geleng kepala dengan respon orang tua pasien. “Untuk menangani pasien tidak ada kebohongan apalagi penipuan kepada keluarga pasien. Kondisi pasien saat ini sudah diambang batas, ini juga dipicu karena stress berlebihan dan juga pola makan tidak teratur. Terlambat saja kalian membawa Candra ke rumah sakit, maka bisa menyebabkan kematian.”

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang