Harapan hanyalah Angan

601 63 17
                                    

Dalam hidup ini harapan dan usaha menjadi tolak ukur manusia dalam menggapai cita. Harapan merangkai angan, dan usaha mewujudkan keinginan.

Namun, halangan dan rintangan membentang di sepenjang jalan yang akan digapai, jatuh tersandung permasalahan, bangun  kembali melangkah ke jalan penuh halangan.
Luka yang diterima tak sebanding dengan harapan yang dipikul, banyak kebahagiaan yang harus diwujudkan, banyak jasa harus dibayar membanggakan.

Langkah demi langkah diseret paksa oleh keadaan, sesak membelenggu tak memberinya ruang untuk mengiba.
Itulah kejamnya semesta menghalangi kebahagiaan manusia, tapi dibalik itu semua ada ribuan kebahagiaan menanti, mengganti kesedihan dengan kesenangan, menjadikannya kebanggaan, dan Candra mempercayai Tuhan tidak akan ingkar pada hamba-Nya.

Satu persatu halangan Candra lewati, jatuh dipaksa bangun kembali, walau luka tak pernah bosan menghinggapi.
Seperti saat ini, setelah pingsan ia paksakan untuk belajar kembali, mencoba berkonsentrasi ditengah sakit kepala menderai.

Hari ini ada ulangan Matematika, yang sejak jauh hari Candra persiapkan, namun malang tidak dapat ditolak, tubuhya memberontak minta diistirahatkan, sementara ulangan ini sangat penting.

Hampir satu jam Candra masih berpikir keras mengisi lembar jawaban, sementara soal ulangan masih banyak yang belum terjawab.

Teman-teman sekelasnya mulai mengumpulkan kedepan, hingga tinggal Candra yang belum mengumpulkan.

Guru di depan berjalan mendekati meja Candra, menaikkan alisnya melihat lembar jawaban Candra yang baru terjawab  satu soal. “Kenapa baru mengerjakan? Apakah waktu satu jam tidak cukup untuk menjawab lima soal Candra?”

Candra yang sedari tadi menunduk, mengangkat kepalanya melihat guru yang berbicara dihadapannya. Hanya tersenyum menjawabnya.

Guru itu geram melihat Candra hanya tersenyum menanggapinya, padahal soal ulangan yang ia berikan sudah pernah diajarkan. “Kalau kamu nggak ngerti waktu ibuk menerangkan, tanya Candra!  Jangan banyak diam. Sekarang kamu sendiri yang susah, kan. Jangan mentang-mentang kamu anak donator di sekolah ini, kamu tidak menghargai guru di depan.” kesalnya.   

Candra memegang erat pena di tangan kanannya, tidak hanya mama dan papa kecewa kepadanya, orang lainpun kecewa karena kobodohannya, belum lagi teman-teman sekelasnya  yang masih berada di dalam kelas menatapnya rendah.

“Maaf, Buk. Bukan maksud saya tidak menghargai Ibuk, tapi saya lagi nggak enak badan, jadinya nggak fokus mengerjakannya Buk,” tutur Candra.

“Halah alasan aja itu.”

Iya, palingan akal-akalan dia aja biar nggak dapat nilai jelek.”

“Caper sih jadi orang, tiba waktu ujian ngangong-ngangong kan.”

“Beda banget dengan kembarannya.”

Candra semakin menunduk mendapat cibiran teman sekelasnya, sudah biasa ia rasakan, tapi hatinya selalu sakit mendengarnya. Tidak sekalipun Candra berniatan seperti itu.

“Kalau sakit, ya, istirahat, kalau kayak gini percuma, jawaban kamu pun salah semuanya.”

Tanpa disangka Guru tersebut memberikan nilai 0 membuat tawa menggema, berbeda dengan Candra melihat nilai kertas ulangannya jauh dari yang diharapkan.

Candra melihat guru itu akan pergi langsung memegang lengannya. “Buk, kasih saya kesempatan memperbaikinya. Saya janji jawabannya betul, tunggu saya sebentar Buk,” mohon Candra menahan pergerakan Guru itu.

Namun perkataan selanjutnya membungkam Candra. “Ibuk sudah jelaskan sebelumnya, sistem ulangan kalau di mata pelajaran Ibuk, tidak ada kata kesempatan kedua memperbaikinya, berapa yang kalian dapatkan itulah yang kalian pahami,” ucapnya dengan tegas, pergi begitu saja.

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang