Asa Menggiring Luka

624 77 6
                                    

Di dunia ini hanya satu yang menjadi tumpuan, harap yang ingin dinyatakan. Membagi dua pilihan, menggantung harap kepada Sang Pencipta atau mengemis kepada makhluk-Nya.

Bagi mereka memberikan kehidupan kepada-Nya, neraka berusaha menggapai doanya, merebut asa yang ia punya, menghancurkan hati tak tersisa, tapi dekapan Tuhan menghalangi itu semua.

Namun bagi mereka memuja makhluk-Nya, tak ada yang bisa melindungi hidup manusia, lisan tak sejalan dengan hati, harap yang ditunggu tak kunjung mengikuti, tapi hampalah yang ikut menyertai.

Manusia hanya tahu sakit menerima, tanpa tahu Tuhan telah menyiapkan hadiah pengorbanan itu semua.
Tak ada yang benar-benar mengerti mengapa Tuhan memberikan batu sandung dalam perjalanan hidup manusia. Namun yang pasti, Tuhan meninggalkan pelajaran disetiap luka yang dinikmati, dan Candra berusaha menggapai rida ilahi.

Hari demi hari menjadi tekanan batin tak bertepi, hiruk pikuk menyuarakan perkataan setajam belati, mengiris hati tanpa mau menyudahi. 

Lihat Kakakmu, Kakak mu bisa masa kamu nggak bisa!

Kalau fisikmu cacat, jangan biarakan otakmu juga cacat!

Jangan buat Papa Mama Malu!

Sejak kecil, Candra ingin terbiasa kata-kata itu, berusaha tegak tanpa menjatuhkan air mata. Namun hati tidak bisa dibohongi, deras air mata terjun bebas membasahi pipi.

Candra terlalu lemah untuk bisa mengangkat kepalanya, karena Candra takut kekecewaaan yang ditujukan kepadanya.

Kata orang, anak membawa keberuntungan, tapi kenapa Candra hanya bisa menyusahkan orang tuanya?

Apa Tuhan lupa memberinya keberuntungan?

Terkadang, terselip rasa iri melihat Bagaskara. Tidak sekalipun mama dan papa mengeluh tentangnya, pujian dan kebanggaan disetiap topik pembicaraan mereka, sementara Candra tidak ada waktu untuk mereka bincangkan.

Candra paham, limpahan kasih sayang hanya untuk mereka yang telah memberikan kebanggaan.

Tak jarang, Candra mengutuk dirinya sendiri yang hanya bisa mengecewakan, bergelut dengan pemikiran ketidakbergunaan, memaki diri tak sesempurna yang orang tuanya  tak inginkan.

Apa Tuhan lupa dirinya ada di dunia? Sehingga membuatnya terlantar tak berguna!

Setiap detik yang Candra lalui begitu mencekiknya, mencegat harapan yang akan masuk ke dalam kalbunya, yang tersisa hanyalah rintihan ketidakberdayaan.

Sepi menemaninya, hampa memeluknya, takdir mengutuknya.

Beberapi hari belakangan, Candra berusaha tegak dari keterpurukan. Tumpukan buku di depannya mengantri untuk dibacanya, membolak-balikan buku di tangannya, memfokuskan mata di setiap kalimatnya.

Entah berapa jam Candra habiskan duduk di meja belajarnya, yang Candra tahu tumpukan buku itu harus dipahami seblum orang tuanya balik dari liburan.

Tes

Tes

Tes

Candra langsung berhenti membaca, ketika merasakan sesuatu mengalir dari hidungnya, menyekanya. Dapat Candra lihat  noda merah di tangannya.

Candra menghela napas lelah, sudah kesekian kalinya cairan kental meluncur bebas di hidungnya disertai pusing mengambil alih.

Terpaksa Candra menutup buku, mengambil tisu di meja belajar, menyeka darah yang masih berjatuhan.

Candra benci mimisan, karena membuat waktu belajarnya harus tertunda. Entah berapa tisu yang  dibuang ketong sampah di sebelahnya, rasanya Candra ingin berteriak kencang berada di situasi ini.

Dengan berat hati, Candra beranjak ke kasur, merebahkan tubuhnya yang sedari tadi minta diistirahatkan, memandang kosong langit-langit kamar.

Kryuk

Candra menghela napas lelah mendengar perutnya berbunyi, ia lupa hanya makan tadi pagi, itupun selembar roti dengan susu.

Terlalu malas untuk turun ke bawah, apalagi kepala Candra pusing. Tanpa pikir panjang Candra mengabaikan rasa laparnya, memilih menutup mata, berharap bangun nanti pusingnya hilang dan bisa belajar kembali.

Cklek

Baru menjelahi mimpi, mata Candra langsung kebuka mendengar seseorang masuk ke kamarnya. Merutuki diri dipergoki sedang tidur-tiduran.

Candra langsung berdiri, menunduk melihat tatapan tajam mereka, meremas ujung bajunya, menggigit getaran bibirnya.

“Enak, ya, nggak belajar?”

Candra menggelang kaku menjawab pertanyaan laki-laki yang menjadi panutannya. “B-bukan gitu Pa, aku istirahat seben ….”

Belum sempat Candra menyelasaikan perkataannya, disela tanpa perasaan menyiratkan kekecewaan.

“Apa yang kamu lakukan sampai membuatmu leha-leha seperti ini?! Papa pikir kamu merenungi kesalahanmu yang nggak bisa dapat juara satu, tapi sekarang Papa paham kamu sendiri yang tidak pantas mendapatkannya!”

Bibir Candra terkatup, nafasnya memburu, menahan sesak tak berujung, “Pa, aku lelah,” lirihnya.

Tangan Radit mengepal, “Saya lebih lelah mempunyai anak sepertimu!” sentaknya. Lalu pergi begitu saja, meninggalkan Candra dan istrinya. 

Welly  yang sedari tadi diam, mengikis jarak dengan Candra. “Anak tidak tau diuntung! Saya peringatkan, ya, jangan pernah lagi mengeluh, apalagi di depan suami saya! Kamu tidak pantas mengatakannya!” desisnya.

Candra mengangkat kepalanya, menatap Welly dengan sendu,”kenapa Mama dan Papa menentukan hidupku seenaknya? Apa karena aku bodoh itu salahku? Atau karena aku cacat?”

“Benar, benar itu salahmu. Kenapa saya mempunyai anak sepertimu,” Welly menatap Candra dalam,“lelah katamu? Kau pasti sangat ingin istirahatkan? Buat kami bangga mempunyai anak sepertimu, dengan begitu kau bisa istirahat.”

"Jika nanti aku juara satu, Mama dan Papa bangga kan sama aku? Kalian akan memperlakukan aku sama dengan Kakak Bagaskara, kan?"

Welly bungkam, getaran tidak mengenakkan mendengar pertanyaan Candra. Tak sanggup menjawabnya, Welly pergi meninggalkan Candra tanpa  jawaban.

Ribuan sesak menghujami dada Candra, menyadarkan Candra bahwa hidupnya hanya untuk menggapai asa, walaupun hatinya hancur tanpa sisa. 


TBC

Hi Popon kembali setelah lama menghilang 🤭

Jangan lupa tinggal kan jejak, ya, jika kalian suka 🥰


Salam Manis Popon



DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang