Tak bisa menerima Luka

434 58 8
                                    

Bagaskara tak pernah menyangka akan serumit ini hidupnya, orang-orang selalu mengatakan hidupnya begitu sempurna mempunyai otak yang cermelang dan mempunyai keluarga yang selalu membanggakannya. Namun dibalik semua itu, ada luka yang tercipta tanpa sengaja oleh keegoisan semesta.

Dulu, Bagaskara begitu senang mempunyai kelebihan yang ia punya, menjadi juara pararel dalam bidang akademik, dan aktif dalam kegiatan non akademik. Banyak yang memujinya dan menyukainya. Tapi dibalik kesempurnaan yang ia miliki menjadi boomerang untuk Candra yang lahir dengan kelainan fisik.

Disaat Bagaskara lahir dengan tubuh yang sehat, Candra hidup dengan alat bantu menyambung hidupnya. Ia masih ingat, kembarannya hanya bisa terbaring lemah di saat ia sudah bisa berlari dengan lincah, baik Mama dan Papa mengupayakan kesehatan Candra agar tumbuh sepertinya.

Tak jarang, Mama dan Papa hanya bisa menunduk setiap kali keluar dari ruang Dokter yang menangani perkembangan kesehatan Candra.

Hingga berlanjut selama tujuh tahun lamanya. Perlahan, perjuangan kedua orang tunya membuahkan hasil, Candra bisa berjalan menggunakan alat bantu. Tapi, tidak sesempurna Bagaskara yang berjalan dengan normal.

Walaupun begitu, Candra begitu keras untuk tidak merepotkan Mama dan Papa. Tak sekalipun Bagaskara mendengar keluhan di mulut tipis sang kembaran.

Tak  jarang orang-orang tak mau mengerti perjuangan Candra untuk bisa hidup sampai sekarang. Banyak tekanan yang ia tanggung demi bisa membungkam kata-kata  tak berperasaan. Walaupun demikian, manusia tetaplah manusia, tak akan puas dengan pencapaian yang didapatkan, dan menyalahkanya atas kegagalan di luar kendalinya.

Kini, Candra benar-benar lelah dengan luka yang ia tahan selama ini. Kejadian beberapa waktu yang lalu belum hilang diingatan mereka, ditambah penjelasan Dokter  memperjelas Candra tak selamanya bisa menanggung penghakiman yang tak berperasaan.

Dapat Bagaskara lihat, Mama dan Papa termenung selepas Dokter berpamitan pergi, meninggalkan mereka bertiga menjaga Candra yang terlelap setelah disuntik obat penenang.

“Ini yang aku takutkan, Adek nggak sekuat itu untuk kalian paksa. Sekali saja, berikan Adek kebebasan untuk hidupnya.”

Welly dan Radit termangu mendengar si sulung bergetar. Rasanya mereka sama-sama diingatkan masa-masa sulit membuat Candra sehat seperti pada anak umumnya.

“Kami melakukan ini demi kebaikannya ....”

Tangan bagaskara mengepal. “Tapi lihat sekarang, Pa.  Adek sampai mengalami depresi saking takutnya mengecewakan kalian. Kalian selalu memaksanya belajar, dan mengatakan perkataan menyakitkan setiap kali Adek tidak mendapat nilai yang kalian inginkan.”

Welly dan Radit sama-sama melihat wajah kuyu Candra yang bergerak gelisah dalam pejamnya, ada rasa iba melihat wajah itu untuk pertama kalinya. Biasanya, mereka hanya ingin Candra harus bisa dibidang akademik di saat fisiknya tak mampu menandangi Bagaskara dibidang non akademik. Mereka hanya ingin orang-orang tak memandang anaknya begitu rendah yang tak mempunyai kelebihan.

“Adek hanya butuh istirahat, sesederhana itu, tidak lebih ....” tutur Bagaskara dengan mata berkaca-kaca.

Radit mengatupkan bibirnya, menatap rumit anak bungsunya yang dibawa alam sadar. Entah kenapa perkataan lirih  Bagaskara membungkamnya, tak ada celah untuknya membantah, dan lebih memilih pergi dari kamar Candra.

Welly yang sedari tadi diam, menatap anak sulungnya. “Apapun itu alasan kami sekeras ini padanya, tidak menutup hati kami sebagai orang tua. Mama cuma minta satu sama Kamu, Kak. Jangan membantah atau berdebat lagi dengan Papa. Papa yang banyak berkorbankan disini, terutama untuknya,” jelasnya dan pergi menyusul suaminya.

Air mata Bagaskara jatuh, menatap nanar pintu yang ditutup orang tuanya yang tak mau mengerti. Ia yang hanya melihat kembarannya menerima tekanan batin selama ini, ikut merasakan sesak.

Sementara Radit yang turun ke lantai dasar menuju ruang keluarga, disambut tatapan datar kedua orang tuanya. Ia ikut duduk disana, merasakan aura dingin di sekitarnya.

“Terbuktikan apa kata Mami dulu? Anak itu hanya bisa menyusahkan!” cercah Pita tajam.

Indra, mengetuk jari telunjuknya di meja sebelahnya.  “Bukankah lebih baik anak itu tidak kamu pertahankan waktu itu? Dan sekarang kamu mendapat sialnya, kan.”

Sontak saja Radit geleng-geleng kepala  mendengar keluhan kedua orang tuanya. “Dia juga berhak hidup walaupun dia tak seperti Bagaskara, dan dia tetap anakku.” belanya.

Indra tersenyum remeh “Apa yang bisa diharapkan dari anak itu? Tidak ada yang dapat kita banggakan darinya, berjalan saja dia harus menyerat kakinya. Apa kamu nggak malu mendengar cemooh orang-orang melihatnya, dan sekarang dia mulai gila. Ingat Dit, selama ini Papi dan Mami menebalkan muka menerima anak  cacat itu, tapi kami tidak yakin bisa menahan malu mempunyai anggota keluarga gangguan jiwa.”

Radit terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia seakan lupa, keluarganya selalu menjunjung tinggi harga diri, dan ia memaksakan Candra untuk bisa sempurna di sisi rumpang yang tak bisa ditutupi.

Welly yang berdiri dipatahan dinding, tertunduk mendengar perdebatan suami dan mertuanya. Ada sesal di hatinya mempertahankan Candra waktu itu. Jika saja dulu ia mengikhlaskan Candra, apakah keluarganya bahagia tanpa ada perselisahan seperti ini?

“Jika anak itu mengamuk lagi, hantarkan saja dia ke rumah sakit jiwa.”

Hati Radit mencolos mendengar perkataan tanpa beban orang tuanya, bahkan buku-buku jarinya memutih menahan emosi. Berbeda dengan Welly yang semakin panas akibat kebodohan anak bungsunya, ia berusaha mati-matian membuat anak itu diterima oleh mertuanya dengan prestasi, tapi hancur akibat lemahnya mental anak itu.

TBC

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang