Tak Ada Tempat Untuk Luka

526 58 5
                                    

Semesta tak pernah tahu betapa besarnya harapan manusia menggapai asa, melambung tinggi merangkai indah, memberikan semua penghargaan demi sebuah kebahagiaan.

Yang semesta tahu, takdir menjadi jalan  mengendalikan dunia yang penuh ketidakadilan ini.

Jauh sebelum manusia mempunyai keinginan, tajamnya pena menggores rangkain kehidupan. Semuanya saling bertolak belakang dari yang diinginkan, memberikan dua pilihan, mengorbankan semua yang didapatkan.

Candra tak pernah mengerti maksud Tuhan memberikan kehidupan jauh dari yang diharapkan, memberikan ruang kehancuran, menutup celah kesenangan, membiarkan keegoisan menggores luka.

Luka di keningnya perlahan memudar seiring berjalannya waktu, namun tajamnya perkataan berhasil menggores hati terdalam sampai ia lupa seberapa hancurnya menanggung selama ini.

Sudah terhitung satu minggu lebih Candra mendekam di rumah sakit. Tak ada yang benar-benar berubah, selain ia diberi kebebasan beristirahat dari yang sudah-sudah.

Biasanya, sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk belajar, selebihnya ia gunakan untuk makan dan tidur beberapa jam sebagai penambah energi dan melepas sedikit lelah.

Sekarang, Candra tidak dihadapkan lagi dengan tumpukan buku, melainkan harus menjalani perawatan yang tak pernah ia inginkan. Sangat membuang waktu, bahkan ia ketinggalan banyak pelajaran.

Ditambah, Candra tak pernah melihat papa dan mamanya datang mengunjunginya, hanya kakak Bagaskara yang begitu sabar dan tanpa kenal lelah menjaganya. Membuat ia semakin takut, akan mendapat hukuman lebih berat setelah pulang nanti.

Beruntung hari ini Dokter memperbolehkannya pulang, dengan banyak pantangan yang tak bisa Candra hindari.

“Ingat, ya, harus minum obat tepat waktu, nggak boleh kelelahan, makan harus teratur, cari kesenangan lain kalau lagi stress,” ucap Dokter memberi wejangan.

Candra mengangguk. “Iya, Dokter. Aku usahakan kalau nggak lupa.”

Bagaskara terkekeh melihat kembarannya yang misuh-misuh. “Jangan iya aja, Dek. Kemarin aja waktu Kakak sekolah, Adek nggak makan dan minum obat, kan, karena keasyikan membaca. Kalau nggak Kakak ingetin, pasti Adek lupa.”

Candra mendelik mendengar  Bagaskara menyindirnya. “Aku lupa, ya, Kak.”

Dokter yang berada di hadapan mereka, geleng-geleng kepala melihatnya. “Bagas, tolong perhatikan adeknya, ya? Mungkin keadaan saat ini sudah membaik, tapi kita masih perlu antisipasi untuk ke depannya. Saya sudah mengatur jadwal check up-nya.” Dokter tersebut memberikan kertas jadwal check up untuk minggu depan.

Setelah Bagas dan Candra menerimanya, mereka pamit pulang. Di dalam perjalanan, Candra terus melihat jendela mobil yang dibuka. Gedung pencakar langit menghiasi samping jalanan, menampilkan kesibukan orang-orang dengan segal aktivitas. Mereka terlihat begitu semangat menjalani harinya.

Melihat rombongan orang berpakaian rapi yang keluar dari gedung, membuat Candra selalu bertanya-tanya, apakah ia akan seperti mereka? Atau ia akan berhenti di tengah jalan karena kekurangannya?

Melihat kondisinya sekarang, dengan kakinya yang cacat, dan otaknya tak sepintar kakak Bagaskara, apakah ada yang mau menerimanya bekerja?

Katakanlah Candra berpikir berlebihan, sampai memikirkan hal yang belum pasti terjadi.

“Kak, setelah Kakak lulus nanti. Kakak mau kuliah dimana? Kerja dimana?”

Bagaskara yang sedari tadi sibuk memainkan handphone-nya langsung mengarahkan perhatiannya ke arah Candra.

“Ya, kuliah di Universitas terbaik, kayak di Hardvard. Kakak mau mengambil jurusan kedokteran, biar nanti bisa jadi Dokter untuk Adek. Kakak akan berusaha menyembuhkan penyakit Adek. Kalau bisa, Adek bisa berjalan dengan leluasa seperti orang lain.”

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang