13 : This Time

18.8K 2.5K 104
                                    

—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Naya kembali mengulang kalimat yang sama di dalam hati. Ia butuh waktu hampir berjam-jam untuk berani menyusul Raihan yang tengah keluar menerima telepon. Sementara di ruang tengah, game masih berlanjut, bahkan semakin riuh.

Saat Naya tiba di teras, lelaki itu baru saja terlihat mengakhiri panggilan, ia berbalik lantas melemparkan tatapan bertanya ke arah Naya. "Kenapa, Nay?"

"Mau ngomong sebentar, boleh gak?"

"Boleh kok," jawabnya lantas memilih bersandar di pagar pembatas balkon yang memang agak tinggi, membatasi area teras rumah dengan taman depan.

"Kali ini, aku akan jelasin semuanya termasuk alasan sikap aku yang kurang sopan minggu lalu," ujar Naya dengan suara pelan. Berhubung bukan dalam suasana yang formal di kantor seperti kemarin, Naya memilih untuk mengobrol secara santai, sekaligus meminimalisir kegugupannya juga. "Kamu cuma boleh dengerin tanpa ngelakuin apapun—"

Tawa kecil lolos dari bibirnya, sebelum kembali menatap Naya dengan sorot serius. "Emang aku mau melakukan apa?" tanyanya santai. Naya diam, balas menatap sorot mata yang sama sekali tidak terbaca itu.

Naya menghela napas sebentar. "Pertama-tama aku mau minta maaf sekali lagi. Aku sama sekali gak membenarkan perbuatan aku malam itu." Ia bisa merasakan suaranya yang sedikit bergetar, mungkin karena hembusan udara dingin yang sewaktu-waktu mampu membuat Naya menggigil atau karena tatapan lurus lelaki itu yang tidak pernah lepas.

"Jujur... Alasan aku sebenarnya karena aku merasa terganggu."

"Terganggu?" Suara berat Raihan menyela.

Naya mengangguk. "Iya, terganggu. Soalnya aku gak nemu alasan yang jelas kenapa kamu baik sama aku. Maksudnya, selama ini Mas Brian juga baik kok sama aku, sama Gista, sama Mbak Jean, dan itu kayak udah hal yang biasa. Terus beberapa orang di kantor juga sering baik ke aku..."

"... Tapi, beberapa orang itu terang-terangan karena mereka suka sama aku. Sementara Mas Raihan kan enggak. Jadi, makin ke sini aku makin terganggu karena untuk pertama kalinya aku deg-degan dikasih perhatian sama orang kantor. Dan itu benar-benar hal yang aku hindari banget. Jadi, malam itu aku merasa perlu tahu, Mas Raihan nih emang baik ke semua orang atau ke aku aja?"

Naya bisa merasakan rasa gugup yang kembali menyerang.

"Kamu menilai orang dengan cara kayak gitu?" tanyanya dengan nada yang terdengar begitu menyebalkan. Ditambah raut wajahnya yang begitu santai itu membuat Naya kesal. Seolah ia benar-benar sama sekali tidak terpengaruh, padahal kalimat yang diucapkan Naya barusan sudah seperti pengakuan akan perasaannya. "Terus apa hasil penilaian dari perbuatan mencium seorang lelaki di puncak malam itu?"

Naya mengumpat dalam hati. Ia bisa merasakan pipinya yang memanas hanya karena lelaki itu kembali terang-terangan membahasnya.

"Dari sikap dan pembawaan yang kelihatannya santai aja, artinya dia emang baik dan perhatian aja ke orang-orang sekitar," balas Naya cepat, sekedarnya.

Somebody To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang