4. Satu-satunya usaha Dihyan

338 52 3
                                    

Pagi yang selalu diharapkannya membawa perubahan, ternyata tetap sama saja setelah dia membuka mata. Tidak ada sesuatu yang berbeda selain cuaca di luar sana yang hari ini sedikit mendung. Dihyan bangkit dari tempat tidurnya dan langsung pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Mandi? Nanti dulu, jadwal kuliahnya masih jam 10 dan sekarang baru jam 8.

Dihyan pergi menuju dapur untuk mengambil air putih di dalam kulkas. Sebentar dia berhenti di dekat meja pantri lalu mencolek sedikit sambal yang ada di atas sebuah mangkok kecil bersanding dengan tempe mendoan yang baru ditiriskan dari minyak panas.

"Shhh ... pedes."

"Ya, lagian sambel dicolek kaya sele."

Maaf, Dihyan hanya melakukan basa-basi pagi. Dia pun berpindah mengambil satu tempe mendoan kemudian lanjut mengambil air dingin sebelum akhirnya menuju meja makan yang sudah disinggahi oleh seseorang.

Tak berniat menyapa, Dihyan langsung duduk dan menyibukkan diri dengan sarapan paginya yang sederhana. Sejenak memeriksa notifikasi whatsapp dari Tirta yang mengirimkan sebuah voice note pada pukul 7 tadi.

"Yan, ada kuliah umum ntar siang. Ikut, gak?"

Belum langsung menjawab, Dihyan terlebih dahulu menelan makanannya lalu menenggak air dingin yang masih utuh tadi.

"Ikut," ucapnya singkat membalas voice note tersebut.

Karena hari ini waktunya agak senggang, mengikuti kuliah umum sepertinya cocok untuk menjadi alasan agar tidak pulang lebih cepat, meskipun tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali ngantuknya.

Pulang seharusnya bisa menjadi hal yang ditunggu-tunggu setelah mengarungi hari. Semua orang selalu menanti jam itu untuk bisa istirahat dengan gembira sambil makan mendoan mamah. Akan tetapi di dalam kamus Dihyan, kata pulang justru tidak ada. Dia sudah kehilangan kata itu setelah kepergian adik kesayangannya 2 tahun yang lalu. Seorang gadis yang selalu membantunya di setiap kesulitan tanpa harus mengeluarkan uang.

Sekarang, kalau setiap ada kesulitan di rumah, dia harus menyelesaikannya sendiri dan jujur, itu cukup membuat mentalnya kelelahan. Kekurangannya belum benar-benar bisa diterima di tengah keluarga, sehingga dia harus menghadapi semua dampak dari penolakan itu ... Sendirian.

"Pagi-pagi pake mendoan, gak papa, ya? Soalnya telornya habis sama papah tadi."

Sontak renungannya buyar saat sang mamah datang untuk meletakkan sepiring tempe mendoan yang baru matang beserta sambalnya.

"Gak papa, kok. Mendoan Mamah lebih enak," sahut seseorang yang sejak tadi tak dihiraukan oleh Dihyan.

Dihyan benar-benar tak ingin peduli, akan tetapi manik justru refleks mengarah pada pemuda tersebut yang merupakan Haris, adiknya.

"Haris jangan lupa obatnya diminum abis ini."

"Iya, Mah."

Tak disengaja juga, Haris bertemu pandang dengan Dihyan yang sontak membuatnya berpaling sambil berdehem canggung.

Atmosfer menjadi sangat berbeda saat sedikit saja mereka berdua berinteraksi. Ada rasa yang saling disembunyikan, yang mana membuat hubungan menjadi tidak sehangat seperti saudara di luar sana.

"Bentar, Mamah lupa cuci tangan."

Dihyan mengambil lagi satu gorengan itu sebelum keheningan mereka dipecahkan oleh Haris yang tiba-tiba menginterupsi atensinya.

"Mas sering nyewa jasa joki tugas, ya?"

"Dari mana kamu tahu?"

Terasa amat sangat asing untuk dua orang saudara kandung. Ruang seolah menyempit untuk mereka saling berbicara.

Afeksi Garis Tangan | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang