18. Didikan katanya

269 44 4
                                    

Sepi di lorong rumah sakit. Hanya ada beberapa pengunjung dan perawat yang berlalu-lalang untuk memeriksa para pasien. Seorang pria tengah duduk di kursi yang ada di depan ruangan tempat anaknya dirawat. Pria tersebut duduk terdiam dengan dua siku bertumpu di atas paha dan jemari saling bertautan di depan lutut. Tyas yang baru saja keluar dari ruangan, lantas mendekat dan mendudukkan diri di sampingnya.

"Ternyata bukan hanya aku yang jengah. Sekarang Haris yang ngomong langsung. Kamu udah sadar, belum?"

Tidak ada masalah lain di antara mereka berdua kecuali perbedaan pendapat tentang anak-anak. Aji dan Tyas sama-sama memiliki kasih sayang yang besar, akan tetapi mereka memiliki perbedaan dalam menyalurkannya pada sang anak.

Seperti seorang ibu pada umumnya, Tyas selalu membagi kasih sayang sama rata dan sesuai porsi. Mengerti dengan kemampuannya, Tyas bukan ibu yang sempurna, namun berusaha untuk menjadi ibu yang akan selalu dicintai oleh anak-anaknya tanpa ada batas.

Sedangkan Aji bukanlah seseorang yang memiliki kelembutan. Dia laki-laki keras yang hidupnya penuh dengan tuntutan. Tumpukan kasih sayang di dalam dirinya tidak bersanding dengan afeksi, melainkan malah bersama emosi.

"Jangan menyuruhku untuk sadar, Yas."

"Mas-"

Ingin mengajukan protes atas pernyataan Aji, tiba-tiba kalimat Tyas berhenti begitu saja saat pria tersebut menoleh ke arahnya dengan tatapan intens yang agak berair di ujung pelupuk.

"Hidup aku penuh dengan tuntutan dari kecil. Ayah selalu mendesakku untuk menjadi seorang dokter. Beliau berperilaku keras sampai gak ada waktu aku buat ngeluh soal kelemahan."

Tyas mengatupkan bibirnya, memberi ruang sang suami untuk berbicara. Meskipun sering berdebat mengenai kasih sayang Aji pada si sulung, Tyas tetaplah tidak bisa melawan perkataan suaminya. Semua keuangan didapat dari kerja keras Aji, sehingga tak berani dia memperpanjang adu mulut dengan pria ini.

"Bertahun-tahun kita menikah, ada yang gak kamu tahu dari aku."

Aji terlihat sedang berusaha menahan cairan di pelupuk untuk jatuh hingga rongga matanya memerah.

"Aku juga disleksia, sama kaya Dihyan. Di umur 17 tahun, aku baru bisa baca. Itu pun belum lancar."

Cukup mengejutkan Tyas. Dia ingin sekali menyela, namun Aji belum mau menjeda waktu bicaranya.

"Aku selalu dapat rotan dari ayah setiap penerimaan rapot karena nilaiku jelek dan beliau gak pernah mengerti kalau aku punya masalah."

"Mas, kalau kamu-"

"Iya, Yas. Aku tahu dan aku sadar. Aku pernah mengalaminya sendiri dan gak seharusnya aku melakukan hal yang sama ke Dihyan."

Raut wajah Tyas sungguh tak menyangka. Dia menggeleng pelan lantas memalingkan wajah dari Aji. Entah apa yang ada di pikiran suaminya itu. Apa Aji ingin melampiaskan amarah masa kecilnya, atau apa?

"Kamu gak kasian sama Dihyan? Kamu marah sama ayah kamu, Mas?" Tyas kembali membenturkan maniknya pada Aji yang tak merubah posisi.

"Aku ... gak marah."

"Terus kenapa kamu seolah-olah gak ngertiin Dihyan? Kenapa kamu memperlakukan Dihyan sama kaya ayah kamu memperlakukan kamu?"

Aji menguatkan sirat di balik sorotannya, seolah ada sesuatu yang sangat ingin diluapkan. Lalu mengalihkan perhatian. Dia mengusap kasar wajahnya seraya menghela napas panjang.

"Aku gak menyangka aja kalau Dihyan akan mengalami hal yang sama seperti yang aku alami. Dia anak istimewa dan kenyataan itu gak bisa aku terima."

Tyas sudah tahu dan lagi-lagi mendengar alasan yang sama namun dengan nada lebih lunak. Wanita tersebut tetap merasa jengah dengan penolakan yang dilakukan Aji.

Afeksi Garis Tangan | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang