26. Afeksi lain (Selesai)

553 45 11
                                    

Hari-harinya masih sama, masih menjadi seorang Haris yang hampa. Seluruh hal yang berkecamuk berubah menjadi abstrak, tidak bisa dideskripsikan apa maksudnya. Tidak ada kemauan, tidak ada rencana, Haris tidak tahu akan melakukan apa di kemudian hari.

Tepat satu minggu berlalu setelah membuka mata, dia masih diam dan sama sekali tak antusias dengan apapun. Kesadaran masih tertutup denial akan kondisi dan juga harapan akan satu eksistensi. Beberapa kali dia menatap telapak tangan cukup lama, melihat pahatan garis tangan yang mana masih selalu mengingatkannya pada sang adik.

"Jadi ini yang kamu maksud membagi kehidupan? Adek pergi, Mas tetap hidup," monolognya pelan. "Tapi Mas belum merasa hidup. Rasanya masih kaya mimpi."

Dia sembuh, kan? Ya, itu seperti mimpi. Tak disangka-sangka dia bisa sembuh di saat kesempatannya untuk bertahan semakin sempit gara-gara keserakahan orang lain.

Sorotan lantas berpaling ke arah jendela yang sudah tak terhalangi gorden, melihat langit Surabaya yang begitu cerah hari ini; biru dengan sedikit hiasan awan putih. Pemandangan yang terlihat sama seperti di mimpi-mimpinya.

Tak lama kemudian, seseorang masuk memecah kesepian yang beberapa saat Haris rasakan. Dia menoleh dan langsung disambut oleh sang mamah yang datang dengan nampan berisi makanan.

"Waktunya makan siang."

Tidak merespon, Haris langsung mendudukkan diri dan menyandarkan punggungnya. Manik mengarah pada wajah mamahnya, seperti biasa menuntut sesuatu yang belum dia dapatkan dari kemarin.

"Apa Mas Dihyan udah pulang dari Malang, Mah?"

Hendak menguapkan makanan pada Haris, wanita itu malah terhenti begitu mendapatkan pertanyaan itu lagi.

"Ini udah beberapa hari. Masa dia seketerlaluan itu gak mau nengokin Haris?"

Tentu saja Haris merasa kecewa dan berpikir Dihyan begitu keterlaluan, tapi tentunya dia selalu berpikir bahwa Dihyan masih perlu jarak yang jauh untuk menyendiri. Mungkin saja mas-nya itu benar-benar tak ingin menemuinya dulu mengingat pesan-pesan yang tak berbalas sebelum dirinya tidak sadarkan diri beberapa hari yang lalu.

"Apa dia gak mau ke sini, ya? Nanti makin iri liat papah sama mamah ngurusin Haris terus." Haris berpaling kembali ke arah jendela.

Ditakdirkan untuk terus hidup, rasanya begitu percuma jika yang dialami akan sama saja nantinya. Lagipula, siapa orang yang sangat baik hati mendonorkan jantung untuknya? Pasti orang itu akan sangat menyesal telah mengorbankan diri untuk jiwa yang sudah putus asa. Begitu pikir Hari sekarang.

Dia kembali memindahkan perhatian ketika mendengar suara isakan yang berasal dari sang mamah.

"Mah?"

Wanita itu tiba-tiba meletakkan nampan ke atas meja nakas lalu berdiri dari duduk sebelum memeluk tubuhnya.

"Kok, Mamah nangis?"

"Mamah pikir kamu bakal curiga."

"Curiga apa?"

"Curiga kalau Mamah sama papah bohong."

Haris segera melepas pelukan Tyas. "Bohong apa?"

Kerutan tercipta bersama sorotan intens ke arah manik Tyas, menuntut penjelasan dengan ucapan tadi.

"Sebenarnya mas gak pergi ke Malang."

"Terus ke mana?"

"Mas Dihyan udah ... meninggal."

Sampai saat ini sebenarnya Haris masih denial dengan situasi. Ada sebagian kesadaran yang belum menyatu dan masih berkelana mencari realita yang lebih baik. Ditambah mendengar pernyataan itu, dia semakin merasa bahwa saat ini adalah dunia mimpi.

Afeksi Garis Tangan | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang