19.00
Jujur itu hebat dan kejujuran adalah nomor satu. Slogan itu terdengar sangat memotivasi para kaum-kaum bungkam untuk mengutarakan kebenaran. Namun dalam hal perasaan, sepertinya kejujuran adalah hal yang paling bodoh untuk diutarakan. Itu yang dipikirkan oleh Kirani saat ini setelah tadi siang dengan beraninya membeberkan perasaan yang sudah dia simpan rapi sejak jaman maba.
"Aduh, goblok, Kiran," runtuknya sambil menepuk jidat beberapa kali.
Meskipun memang hari ini dia berniat untuk bicara dengan Haris, namun sungguh, keceplosannya sangat tidak dia harapkan. Kini, Kiran begitu gelisah memikirkan bagaimana Haris ke depannya. Haris tidak mudah ilfeel, kan?
"Tadi Kak Dihyan denger, gak, ya? Mati aku kalau denger."
Dan Dihyan. Argh, Kiran semakin tidak tenang jika kakak tingkatnya itu mendengar ucapannya yang sangat tidak disengaja tadi kepada Haris. Pasalnya, Dihyan pasti akan menjadikannya topik baru untuk meledeknya saat nanti ada di forum.
Kiran pun meraih ponsel, lantas mengirimkan pesan whatsapp pada Haris.
"Haris, lupain aja, ya?"
Jujur dalam hal ini memanglah sebuah kekonyolan. Kiran benar-benar tidak bisa berhenti merasa malu saat kepalanya terus memutar-mutar kejadian tadi siang.
"Lupain apa?"
"Lupain yang tadi."
"😅."
"Kok, emotnya gitu?"
"Kenapa harus dilupain?"
"Malu😔."
"Emang gimana cara lupainnya?"
"Ih🥺."
Ya, itulah kekonyolan Kiran. Dia masih berpikir bahwa ucapannya tadi seperti tinta spidol di papan putih hingga dapat dihapus jika tidak sesuai dengan keinginan.
"Tunggu jawaban aku, ya? Mungkin dua hari lagi😉."
"JANGAN BIKIN AKU TAMBAH MALU!"
Setelahnya, Kiran melempar ponsel ke arah tempat tidur sebelum akhirnya merebahkan diri dan menatap langit-langit kamarnya, membiarkan senyap hadir menyelimuti untuk hati serta pikirannya berjalan tenang.
Tenang?
Sepertinya tidak bisa. Sekarang dia seperti cewek labil yang suasana hatinya mudah sekali berubah-ubah. Diambil kembali ponselnya dan membuka lagi ruang percakapan dengan Haris. Rasa malu tadi tiba-tiba sudah entah pergi ke mana saat melihat pesan terakhir dari Haris yang membuat senyuman terukir otomatis di bibirnya.
"Terima kasih😊."
Membaca kalimat itu, gelisah, cemas serta malu tadi seolah pergi dan digantikan oleh rasa lega.
Hatinya berkata bahwa Haris bukan cowok yang salah untuk dijadikan tempat bersinggah. Dari pertama kali bertemu hingga detik ini, Kiran masih tetap melihat sesuatu yang telah membuat kenyamanan hinggap setiap kali ada di dekat cowok itu.
Haris Guntur Purnama. Mungkin akan sangat membosankan jika menceritakan bagaimana kisah pertama kali merasa nyaman. Tapi bagi Kiran pertemuan pertama yang paling diingat oleh setiap ruang di dalam kepalanya adalah pertemuan pertama dengan pemilik nama tersebut.
"Goblok, sih, tapi gak papa, deh. Seneng juga," monolognya sebelum dikejutkan oleh suara notifikasi dari ponsel.
"Jagau paln tnasku."
Tentu bukan dari Haris, melainkan dari Dihyan yang seketika membuat Kiran memajukan bibirnya sembari berdecak kesal.
"Apa, sih, Kak Dihyan? Ketikanmu gak jelas banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi Garis Tangan | Selesai
Teen FictionHanya seseorang yang ingin tenang tanpa mengharapkan apapun. [Family, Brothership] ©2023