Kenapa harus ada perasaan sepi disaat bumi ini dihuni oleh milyaran manusia?
Terkadang pertanyaan itu datang begitu saja saat ada sebagian diri mengalami kehampaan. Seperti yang selalu dialami oleh seorang bernama lengkap Haris Guntur Purnama. Cowok yang sebenarnya memiliki senyum secerah matahari dan segudang topik obrolan yang seperti bertumpuk tak berguna.
Kenapa dia selalu merasa sepi? Padahal teman di kampusnya banyak. Dia bisa melakukan banyak hal tanpa harus melakukan aktivitas yang berat.
Haris selalu mempertanyakan hal tersebut meskipun dia sebenarnya sudah tahu jawabannya. Dia merasa sepi karena telah kehilangan beberapa hal dalam dua tahun ini.
Hal yang menggoreskan warna di dalam hidupnya.
Dalam kehampaan ruang ujian, memori menilik jauh ke masa di mana senyum cerahnya masih terpampang tatkala mendapati satu sosok yang selalu sempurna di matanya. Masa sebelum insiden itu terjadi.
"Assalamualaikum? Eh, si Ganteng udah bangun."
"Dek?"
"Liat, aku bawa sesuatu buat Amas."
Amas, panggilan yang terdengar berlebihan tapi senantiasa menjadi kesukaannya dan yang paling dia tunggu-tunggu.
"Ke sini sama siapa?"
"Sama, hehehe ... Mas Titrta. Aku suruh dia nganterin sekalian."
"Terus Mas Tirtanya?"
"Langsung pulang. Katanya disuruh nganterin ibunya ke Gresik."
Haris spontan melebarkan senyum begitu rasa bahagia perlahan menjalar ke seluruh tubuh, meredakan sisa rasa sakit dari operasi yang dia jalani kemarin sore. Matanya memandang penuh binar cewek cantik yang kini tengah mendudukkan diri di kursi yang ada di samping tempat tidurnya. Cewek yang nyaris tidak ada kesenduan di wajahnya.
Viovina, adik yang sangat dia sayangi.
"Di rumah kayanya sepi. Mas Dihyan masih di kampus, jadi aku langsung ke sini, deh."
"Lah? Harusnya kalau Mas Tirta udah pulang, Mas Dihyan juga udah pulang, dong. Kan, biasanya itu dua orang barengan."
"Gak tahu. Katanya Mas Dihyan masih ada urusan bentar."
Haris mengangguk tanpa sedikit pun mengurangi kadar manis di senyumnya sambil melihat Vio yang tengah mengupaskan buah jeruk.
Rasanya dunia begitu damai tanpa ada gelisah sedikit pun. Ruangan tertutup, namun Haris merasa ada angin dingin yang membelai lembut wajahnya.
"Cepet sembuh, ya, Mas? Jangan masuk rumah sakit lagi."
Suara gemas bak penenang, melebur rasa takut akan himpitan penyakit yang ingin sekali mencabut nyawanya. Di mata Haris, Vio adalah adik yang sempurna dan kesempurnaan itu seolah-olah telah melengkapi kekurangan yang dimilikinya sejak lahir.
Kekurangan? Ya. Haris tidak terlahir baik-baik saja. Dia memiliki kelainan jantung yang membuat tubuhnya sangat lemah jika melakukan aktivitas berat. Rumah sakit adalah tempat langganannya setiap bulan dan obat adalah cemilannya sehari-hari setelah makan.
Setiap degup jantung tak beraturan dan napas menjadi sesak, saat itulah ketakutan Haris mencuat. Takut jika waktunya sudah habis dan dia akan meninggalkan keseruan di rumahnya tanpa ada kata siap. Tapi saat keadaan normal bersama saudara, seketika dia lupa dengan rasa takut itu.
"Amas gak janji."
"Kok, ngomongnya gitu? Orang kalau sakit, doanya pasti cepet sembuh."
"Iya, Amas pengen cepet sembuh. Tapi gak janji harus sembuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi Garis Tangan | Selesai
Novela JuvenilHanya seseorang yang ingin tenang tanpa mengharapkan apapun. [Family, Brothership] ©2023