22. Ingin pulang

302 53 10
                                    

Angka 334 km² mungkin bukan angka yang besar untuk luas sebuah kota terkenal di Indonesia. Namun bagi seseorang yang hanya mengendarai motor matic, tidak ada secuil dari angka tersebut sudah menjadi jarak yang luar biasa jauhnya. Dihyan tak bisa menghentikan deraian air mata di sepanjang jalan sembari terus menenangkan diri bahwa tidak akan terjadi apapun pada Haris.

Jarak dari tempatnya berkegiatan terhitung sangat jauh, mungkin jika dialokasikan dengan masa bisa memakan waktu satu jam, itu pun tanpa kendala macet. Untungnya hari ini hari Minggu, sehingga kota Surabaya bisa dikatakan agak lenggang dari kendaraan para pencari uang.

Dihyan mengentikan motornya saat lampu sedang merah, mengambil ponsel lalu buru-buru untuk menelepon Haris. Namun sayang, panggilan kepada Haris hanya menunjukkan status memanggil tanpa kunjung berdering, itu menandakan bahwa sang adik tidak menghidupkan data. Dia pun beralih ke panggilan biasa.

"Nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif...."

Napas berat berembus. Keresahan kian menembus umbun-umbun mendengarkan hanya operator yang menjawabnya. Apa Haris marah? Jika iya, sungguh itu jauh lebih baik daripada hal lain. Kembali dia memasukkan ponsel ke dalam saku jaket dan langsung memacu motor begitu lampu sudah menunjukkan warna hijau.

Terlepas dari konflik yang selalu terjadi di dalam batinnya, Dihyan masih menyimpan begitu banyak kasih sayang yang tersembunyi. Dia tenggelamkan di bagian hati paling dasar, tertimbun oleh nestapa yang selalu datang bersama tekanan.

Mungkin saja inilah ujung dari sifat egoisnya. Penyesalan itu sungguh tidak mengenakkan. Si adik tengah kesakitan, kesepian, butuh rengkuhan. Naluri sebagai seorang kakak tidak bisa Dihyan hindari. Langkah berhenti total untuk kian menjauh sebelum benar-benar tenggelam dalam sesal.

Dia menggali rasa kasih sayang itu. Melapangkan segala yang sempit dan mencoba untuk mendamaikan semua yang selalu bertengkar. Kini, Dihyan ingin kembali ke tempat di mana seharusnya dia bisa mendapatkan kehangatan. Dia harus kembali ke tempat seharusnya dia bisa menyalurkan keluh kesah yang sebenarnya.

Haris.

"Mas gak bakal nyesel ninggalin kesibukan Mas, asalkan Mas bisa ngeliat kamu duduk di depan tv, Ris," isaknya pelan di balik angin yang berembus kencang akibat laju motornya.

Air mata mengalir, tidak sampai jatuh tapi malah terbang bersama angin. Sanubari memacunya untuk mempercepat perjalanan agar segera sampai di rumah. Tubuh tak sabar ingin merengkuh figur yang selalu kesepian, membayar rasa acuh yang selama ini dia pelihara.

Dihyan benar-benar ingin pulang.

Dia menambah kecepatan motornya, membelah jalanan yang beruntungnya tak begitu macet. Lenggang memberi ruang, membuatnya kian leluasa untuk kian menggerakkan jarum spidometer ke arah angka yang lebih besar. Tak tanggung-tanggung hingga hampir melewati angka 70 km/jam. Kecepatan yang cukup tinggi untuk dijalankan di wilayah perkotaan.

Dihyan ingin cepat pulang.

Wajah Haris melintas, seolah ingin menyentil jiwanya agar terus menggali rasa kasih sayang itu. Tenang, Dihyan sudah menggapainya. Sekarang dia harus cepat sampai di rumah.

Jalan longgar, namun tak berarti bebas dari kendaraan. Saking tingginya kecepatan yang dia pacu dan benak yang hanya memikirkan kata pulang, fokus pun terkikis. Lampu merah tak dia sadari sehingga jejeran mobil dan truk seolah tak terlihat. Mata seketika melebar bersama tangan yang mengurangi pacuan gas-nya. Namun sayang sekali dia lupa menekan rem tangan, sehingga laju motor tak semakin berkurang dan membuatnya menabrak bagian belakang sebuah truk barang.

Lalu apa selanjutnya? Dihyan tak merasakan apapun setelah tubuhnya terasa dihempas begitu kuat dan kepala membentur benda keras. Suara terakhir yang dia dengar hanyalah keterkejutan dari orang-orang, kemudian kegelapan datang cepat menelannya.

Afeksi Garis Tangan | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang