Jika sebuah kenyamanan dilihat dari seberapa banyak materi yang dimiliki, pasti hidup Haris sudah sangat bahagia karena uang cukup berlimpah, tak akan sering mengeluh ataupun bersumpah-serapah. Akan tetapi baginya, kaya saja tidak cukup untuk merasa nyaman di dalam kehidupan. Menuruti logika yang selalu realistis berpikir, kaya raya memang menciptakan kenyamanan. Namun, hal itu belum bisa memenuhi kebutuhan batin.
Kosong, tapi serasa tertekan seolah memiliki banyak muatan yang membeludak. Kasih sayang tidak terasa, padahal ada. Sepi menggelora, padahal di rumah tidak hanya dirinya. Di mana kenyamanan? Uang ada, tapi semua orang sibuk bergelut dengan diri mereka sendiri sampai enggan untuk sekadar berkumpul di ruang multifungsi sambil minum kopi. Batin tidak nyaman, sebab kekurangan pelukan.
Haris menghela napas panjang, melepas udara yang entah kenapa seperti mengandung banyak keluhan. Mata lantas terbuka dan melihat ruangan yang biasa selalu ramai dengan tawa dari adiknya, kini sepi. Sangat sepi, seperti rumah yang tak berpenghuni.
Manik berkeliling, mengobservasi suasana. Melihat setiap sudut yang dulu menciptakan kenyamanan, sebelum dia dikejutkan oleh tangan seseorang yang tiba-tiba menutup kedua matanya dari belakang.
"Eh?"
Haris meraba tangan itu, menebak siapa yang kira-kira ingin menjahilinya.
"Mamah, ya?"
"Ih, kok, Mamah?"
Suara itu ..., Haris seketika menegang. Perlahan tangannya turun begitu lemas bersama saliva yang jatuh ke tenggorokan begitu saja.
"Dek?"
Kemudian tangan itu terlepas, mata kembali terbuka dan melihat si pemilik suara sudah berpindah mendudukkan diri di sampingnya.
Haris terpaku dengan tubuh masih menegang, memandang sosok itu yang terlihat sangat nyata. Mata, hidung, senyuman dan suara, satu persatu maniknya mengamati setiap lekuk wajah yang sudah sangat lama tak lagi muncul.
Tunggu. Ini mimpi?
"Kok, ngeliatin aku kaya gitu? Kaya ngeliat setan aja."
"Dek? Ini—"
Kalimat Haris terpotong ketika Vio tiba-tiba memeluknya erat, kian membuat bibir kelu untuk mempertanyakan apa yang dia rasakan sekarang.
"Aku tahu Mas Haris capek."
Ya, mimpi.
Ketegangan yang melanda tubuh, perlahan menenang bersama senyum terukir tipis nan lembut. Inilah mimpi indah Haris, di mana dia mendapatkan kenyamanan dari pelukan sang adik yang begitu hangat.
"Mau ngajak Mas jalan-jalan, ya?" tanya Haris seraya membelai helaian rambut Vio.
"Gak. Nanti aku dimarahin papah. Mas Haris, kan, gak boleh ke mana-mana."
"Sekarang udah boleh, kok. Ayo, Dek. Mas bosen di rumah terus, pengen jalan-jalan yang jauh, nyari udara segar."
Mendadak Vio menjauhkan tubuhnya dari Haris dan memberikan sorotan teduh seraya menggelengkan kepala.
"Mas gak boleh ke mana-mana," ucap cewek tersebut lembut, tapi sirat akan penegasan. "Mas harus tetap di rumah."
Hal yang Haris harapkan dari mimpi indah adalah bisa bertahan di dalamnya dan tidak perlu kembali ke dunia nyata. Juga mengharapkan sesuatu yang tidak dia dapatkan dari realita.
"Ya udah, tapi Adek yang jangan ke mana-mana. Temenin Mas."
Vio seketika tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi putihnya sembari jatuh kembali ke pelukan Haris.

KAMU SEDANG MEMBACA
Afeksi Garis Tangan | Selesai
Novela JuvenilHanya seseorang yang ingin tenang tanpa mengharapkan apapun. [Family, Brothership] ©2023