17. Resah kesah

247 44 2
                                    

Hujan reda dan pelangi datang. Tawa terdengar kembali di telinganya bersama kesempurnaan yang terasa di dalam sebuah hunian. Haris menikmati dengan begitu suka cita. Tak ada sendu, tak ada gelisah. Yang ada hanyalah keceriaan.

Kehidupan yang sempurna.

Akan tetapi sangat disayangkan, semua pelangi itu hanya hadir di dalam mimpinya. Air hujan dan hawa dingin tiba-tiba datang kembali saat kelopak mata terbuka, menampakkan kehidupan aslinya di dunia nyata.

Sejenak dia berharap ini mimpi di dalam mimpi, namun saat dia merasakan kelopaknya berkedip dan tangan terasa berat, barulah kesadaran benar-benar kembali menamparnya. Ruangan serba putih menyambut netra serta bau tak asing yang biasa di cium ketika di rumah sakit juga turut mengembalikan kesadarannya.

Haris mengalihkan atensi ke arah tangan yang berat. Rupanya sedang digenggam oleh sang mamah yang kini masih tertidur lelap dengan satu lengan menjadi bantalan kepala. Dilihatnya wajah lelah, yang sepertinya tak henti menjadi tempat untuk kegelisahan bermuara.

"Mah." Daya belum terkumpul untuk bersuara. Haris pikir mamahnya tidak akan bangun dengan suara seraknya, tapi ternyata belum bibirnya terkatup, wanita itu sudah mulai terbangun.

"Sayang ...."

Tidak ada basa-basi sepatah kata pun, Haris segera mendapatkan rengkuhan di wajah serta kecupan di pipi kiri-kanan dan kening. Sentuhan yang amat nyata, dirasa nyaman akan kelembutan. Beruntung, masih ada yang bisa dia rasakan dengan hati damai.

"Haus."

"Bentar bentar, Mamah ambilin minum."

Senyum terukir samar saat melihat mamahnya yang begitu bergerak cepat, takut jika dirinya tumbang lagi.

"Ini minum."

Haris mendudukkan diri lantas menyandarkan punggung ke sandaran tempat tidur sebelum menerima gelas berisi air dari sang mamah. Terus terang mulut terasa pahit, tapi dia tidak tahan dengan dahaga yang tiba-tiba terasa, seolah habis berlari jauh.

"Butuh apa lagi?"

"Udah."

Jika dipikirkan, sebenarnya cukup lama dia tidak sadarkan diri. Dari kemarin siang hingga sore ini. Namun sungguh, mimpinya terasa sangat singkat. Kini ingin rasanya kembali tidur, tapi kantuk sudah pergi entah ke mana. Kepala diisi lagi oleh kenyataan-kenyataan yang sangat menggangu dan sepi yang kembali menggerogoti batin.

"Papah masih nemuin dokter. Bentar lagi juga balik."

"Mas Dihyan gak ada?"

"Tadi pagi udah ke sini sampe siang. Terus pamit ke kampus."

Tidak masalah. Dihyan memang orang sibuk, entah itu benar-benar sibuk atau sok sibuk. Yang jelas mas-nya itu pasti akan menciptakan alasan untuk kabur sebentar dari rumah, menghindari atmosfer tegang yang kadang datang tak terduga. Dalam kata lain, atmosfer yang dibawa oleh papahnya.

"Udah gak sakit, kan, dadanya?"

"Udah biasa aja, Mah."

Sakit tentu masih ada. Haris saja yang sudah terbiasa. Hari-harinya selalu sakit. Nyawa seolah ingin lepas dari raganya jika tidak dia tahan dengan obat. Pun asa berkali-kali hampir putus sebab terlalu lama menantikan kata sembuh.

Kapan? Apa tidak akan kata sembuh? Tapi ... dia sudah janji akan sembuh.

Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Aji masuk dengan tampang lesu. Sebentar terkejut karena Haris sudah siuman, namun keterkejutan itu digantikan sendu dalam sekejap.

"Gimana, Mas?"

Haris mengamati raut wajah Aji yang agak mencurigakan. Sesuatu yang tidak diinginkan pasti sudah didengar oleh papahnya itu sampai menyorotkan tatapan penuh sirat resah padanya.

Afeksi Garis Tangan | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang