8. Maaf tak bermakna

273 41 6
                                    

Bagi Dihyan, perjalanan pulang yang paling nyaman adalah ketika diiringi dengan angin yang berembus pelan dan dipayungi oleh langit yang mulai dihiasi semburat jingga. Meskipun terkadang macet, Dihyan masih bisa menikmati dengan angan indah yang selalu dibawanya di dalam benak.

Rumahnya agak jauh dari kampus, sebelum Dihyan benar-benar pulang, dia membelokkan setir ke arah Indomaret untuk membeli beberapa makanan ringan.

Entah kenapa mulut terasa pahit setelah tadi minum Coca-Cola milik Janied. Rasanya ingin membeli yang manis-manis seperti susu kotak rasa coklat almond dan pocky. Tambah satu lagi, good time. Sekalian beli beberapa bungkus untuk stok teman nonton Netflix di kamar.

"Tidak mau tambah lagi, Mas? Kebetulan lagi ada promo hari ini, beli dua hanya 15 ribu."

Dihyan melihat dua bungkus roti isi coklat yang dipajang bersama tulisan promo beli 2 hanya 15 ribu. Biasanya dia langsung menolak, karena memang tidak berminat makan roti. Tapi kali ini entah kenapa tiba-tiba dia teringat akan satu hal setelah melihat roti tersebut. Teringat akan seseorang.

"Mas, dibeli aja, yuk? Makan roti bareng susu, enak, loh."

Senyum kontan terukir tipis dengan sorot yang berganti sendu. Ya, dia teringat akan adik cantiknya. Sebelum tragedi kecelakaan yang menimpa Viovina, Dihyan sering sekali pergi ke Indomaret bersama adiknya itu untuk membeli susu coklat almond dan roti yang sedang promo. Kini, memori sepele itu terlintas, menyentil sanubari yang membuat rindu kembali tergugah.

"Iya, deh, Mbak. Sekalian aja."

Lekas dia membayar semua belanjaannya. Tidak ada lagi kantong kresek yang disediakan Indomaret, sehingga Dihyan harus memasukkan semua makanannya ke dalam tas ransel.

Lantas pulang? Tentu belum. Masih ada satu tempat lagi yang ingin Dihyan kunjungi. Tempat di mana rasa rindu itu bisa saja terobati, sedikit.

Angin kian berembus kencang saat dia sampai di sebuah pemakaman. Dilihatnya rumah-rumah para manusia yang sudah selesai dengan urusan dunia mereka, tersebar memenuhi tanah ini.

Meskipun hari hampir berakhir, langit masih terlihat cerah. Dihyan menghampiri sebuah pusara dengan batu nisan bertuliskan nama yang sudah pergi.

Viovina Laska Utari

"Dek..."

Dihyan duduk bersila di samping pusara, mengabaikan celananya yang mungkin akan kotor terkena tanah, sambil menyapu dedaunan kering yang terjatuh di atas rumput hijau.

Helaian rambutnya menari-nari, mengikuti hembusan angin yang melintas sepoi-sepoi. Sorotan memandang ukiran nama dan dua tanggal yang menandakan awal serta akhir kehidupan sang adik sembari menarik simpul senyum sendu di bibir.

"Kayanya hari ini Adek juga kangen Mamas, ya? Tiba-tiba tadi Mamas keinget Adek yang suka ambil promo di Indomaret."

Sama sekali Dihyan tidak merasa takut duduk seorang diri di tengah pemakaman meskipun hari kian berakhir. Dia terlihat betah sembari mengeluarkan satu bungkus roti dan susu kotak.

"Dua bungkus cuma 15 ribu. Lumayan, kan? Ini kalau harga normal, satunya 10 ribu," monolognya sambil menyobek plastik bungkus roti lalu menusuk kotak susunya dengan sedotan.

Melahap satu gigitan, dia kembali mengobservasi sekitarnya yang sudah benar-benar sepi. Jingga kian mendominasi langit bersama masjid-masjid yang mulai menyuarakan suara orang mengaji.

"Ini kalau Mamas punya indera keenam, pasti ditanya, tuh, sama mba kunti, ngapain mas makan sendiri di kuburan? kaya gak ada tempat lain. Haha."

Setan hanya merasuki orang dengan pikiran kosong. Dihyan tidak perlu takut kemasukan roh halus, sebab isi kepalanya tidak ada ruang untuk mereka bersemayam. Haha. Jadi, jangan khawatirkan dia. Bersama kesunyian di tempat itu, Dihyan justru merasa lebih damai.

Afeksi Garis Tangan | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang