Pekerjaannya di cafe sekarang bertambah karena Karin tengah absen sebab sebelah kakinya terkilir karena kecelakaan yang dialami kemarin.
Deidara berjalan lesu memasuki apartmentnya yang kini kosong. Biasanya akan ada Tobi yang menemani, tapi sosok itu entah menghilang kemana. Deidara sudah mencoba mencari, bertanya pada sosok arwah yang beberapa kali diceritakan Tobi tapi satupun dari mereka tak ada yang tau. Bisa dibilang Deidara sekarang kesepian. Sosok Tobi sudah menemaninya walau kadang menjengkelkan namun kehadirannya cukup menghibur.
Si pirang itu melepas tusuk rambutnya dan membiarkan rambut pirangnya tergerai hingga sebatas pinggang, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur tanpa mengganti pakaian. Rasanya sangat malas. Dirinya hanya ingin berbaring dan segera tidur.
Pikirannya menerawang dan mencoba mengingat apakah dirinya sempat berbuat salah hingga Tobi tiba-tiba menghilang. Seingat Deidara, kemarin Tobi masih sempat mengikutinya ke rumah sakit menjenguk Karin, tapi sosok itu menghilang begitu saja.
"Hah..." Deidara menghela nafas berat lalu bangkit dari acara rebahannya. Kalau dipikir risih juga jika dirinya tidak membasuh tubuh setelah beraktivitas di bawah sinar matahari hingga bau keringat.
Sosoknya kini memasuki kamar mandi, melepas satu per satu pakaiannya hingga kini tubuh putih tanpa cela itu sudah telanjang bulat.
Deidara menyalakan shower dan membiarkan air dingin mengalir keseluruh tubuhnya. Membuat helaan nafas keluar dari bibirnya yang sewarna mawar. Air dingin memang hal yang cocok untuk pikirannya yang sedang penuh.
Bunyi gemerisik dedaunan yang berterbangan membawa melodi tersendiri bagi seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda. Angin berhembus perlahan, membuat beberapa helai rambut hitam itu jatuh pada setengah wajah tampannya yang masih berbalut perban.
Sosoknya memandang sendu pada makam yang ada di depannya. Di bawah sana, terbaring seorang yang bisa dibilang cukup berarti dalam hidupnya, tapi Yang Maha Kuasa mengambilnya begitu awal.
"Itachi, harusnya aku tidak memberitahunya tentang peristiwa itu, kan?" Lelaki itu bertanya memastikan pada seseorang yang sejak tadi berdiri di sampingnya.
"Tidak, kupikir dia memang harus tau kebenarannya." Jawab seorang lelaki berambut hitam panjang yang dikuncir rendah, "Relakan dia, Obito. Di dunia ini ada yang namanya takdir, jadi ini bukan salahmu."
Lelaki yang dipanggil Obito itu memejamkan matanya.
Kecelakaan yang dialaminya bersama Rin—orang yang terbaring di bawah sana begitu hebat hingga nyawa perempuan cantik itu tak tertolong. Obito sepenuhnya menyesali emosi yang kala itu menguasai dirinya hingga mobil yang dikendarai hilang kendali dan menabrak pembatas jembatan. Hal terakhir yang Obito ingat adalah banyaknya pecahan kaca dan Rin yang sudah berlumur darah, lalu semuanya gelap.
"Dokter tidak memperbolehkanmu pergi terlalu lama, ayo kembali." Ujar Itachi lalu mendorong kursi roda Obito untuk keluar dari area pemakaman, "Ngomong-omong si kecil pirang yang pernah kau ceritakan itu beberapa hari lalu menjengukmu."
Mendengar ungkapan Itachi membuat Obito mengerutkan kening, "Si kecil pirang? Siapa?"
"Berambut panjang, pirang, bermata biru, yang menolongmu 3 tahun lalu." Jelas Itachi sekali lagi membuat Obito langsung membulatkan matanya terkejut.
"Benarkah?" Tanyanya antusias, tapi sedetik kemudian Obito mengerutkan kening heran, "Tapi bagaimana kau bisa tau kalau orang yang menjengukku adalah orang yang sama seperti 3 tahun lalu?"
Itachi menerawang kejadian beberapa hari lalu ketika dirinya bertemu seorang lelaki berambut panjang yang memiliki tinggi badan lebih pendek daripada dia, "Sebenarnya bukan menjenguk, dia salah masuk kamar. Kalau bagaimana aku bisa yakin, ciri-cirinya sama seperti yang pernah kau ceritakan. Dia memiliki rambut pirang panjang, bermata biru, dan kecil, lagipula tak banyak orang Jepang yang seperti itu, jadi dia terlihat sedikit asing dan mencolok. Tapi kemarin dia berkata seperti bahwa dia tidak kecil karena sudah 22."
Obito tersenyum samar mendengar cerita Itachi, "Benarkah? Jika itu memang dia, aku tak sabar untuk bertemu."
"Yah, kupikir kau harus cepat karena dia sangat menarik."
"Deidara-chan." Lelaki berambut perak itu memanggil Deidara yang tengah diam dengan pandangan kosong.
"Deidara-chan." Jika tadi hanya panggilan, maka sekarang ditambah dengan sentuhan, lelaki itu menggoyangkan badan Deidara pelan tapi tetap tak ada tanggapan.
"Deidara-chan." Hal yang sama dilakukan sekali lagi, tapi tetap tak ada tanggapan, "BOS KAKUZU, DEIDARA-CHAN MINTA POTONG GAJI."
Plakk...
Mendengar kata gaji Deidara refleks memukul kepala Hidan yang sudah seenak jidat berkata demikian, "Enak saja, aku tak pernah bilang begitu."
Mereka berdua kini masih ada di dalam cafe yang baru saja disewa oleh keluarga kecil bahagia yang sedang merayakan ulang tahun anak kedua mereka dengan meriah. Beres-beres sudah selesai dan kini mereka sedang ada di ruang istirahat khusus karyawan.
"Salah sendiri melamun seperti orang kerasukan setan." Ujar Hidan sambil bersungut kesal, pukulan Deidara tak main-main tenaganya, "Kau ada masalah Deidara-chan?"
Pertanyaan itu membuat Deidara langsung menelungkupkan kepalanya ke atas meja, "Hidan, apa yang akan kau lakukan kalau temanmu tiba-tiba saja pergi dan kekasihmu tidak bisa dihubungi?"
Pikiran Deidara belum selesai dengan Tobi yang menghilang, sekarang ditambah lagi dengan Sasori yang tak bisa dihubungi. Deidara sudah coba menghubunginya beberapa kali, mengiriminya pesan, tapi tak ada satupun yang dibalas. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak.
"Si rambut merah itu? Cari saja ke kantornya, atau rumahnya mungkin." Hidan memberikan solusi.
"Kalau tetap tidak ketemu?" Suara Deidara terdengar samar karena lelaki berambut panjang itu masih menelungkupkan kepalanya di atas meja.
"Cari sampai ketemu. Harus. Kalau sudah ketemu tampar wajahnya dan putuskan dia."
"Apakah Dewa Jashin dan kitabmu mengajarkan demikian?"
"Yah, Dewa Jashin mengajarkan bahwa kau harus membalas setiap rasa sakit yang datang padamu dengan takaran yang sama."
"Itu hanya akan menimbulkan rantai kebencian yang tak berkesudahan, Hidan." Deidara menghela nafas lelah, "Kau yakin ajaran yang kau yakini itu benar?"
Brakk...
Hidan tiba-tiba saja memukul meja dengan keras hingga Deidara terlonjak kaget.
"Tentu saja Dewa Jashin selalu benar, Deidara-chan." Hidan berkata antusias, "Bahkan dalam kitabku dituliskan bahwa-"
Sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Hidan selanjutnya Deidara menghentikan lelaki itu, "Cukup, Hidan. Aku sedang tidak ingin mendengarkan ceramahmu."
Hidan yang seakan mengerti mulai berdehem untuk memulai pembicaraan yang serius dan bijaksana seperti Dewa Jashin, "Tapi, Deidara-chan. Bukankah dalam hubungan komunikasi adalah sesuatu yang penting. Jika dia sudah tak menghubungimu atau sulit dihubungi, bukankah kau sudah harus mulai bertanya-tanya, tak harus setiap hari, tapi setidaknya dia menghubungimu dimana dia berada sekarang."
Nasehat Hidah tersebut membuat Deidara semakin merenung sebab Sasori sejak kepulangannya dari luar negeri memang semakin susah untuk dihubungi.
"Dan ngomong-omong, teman yang kau maksud itu siapa?"
Pertanyaan Hidan itu tidak mendapat jawaban dari Deidara karena si pirang kembali melamun.
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasokare (Tobi/ObitoxDeidara) END
FanfictionTasokare adalah saat kondisi bukan sore atau malam. Keadaan saat garis dunia menjadi samar dan mungkin bisa bertemu sesuatu yang lain. Semua tokoh yang ada dalam cerita adalah milik Masashi Kishimoto. Penulis hanya meminjam nama dan visual. Tags:...