Capital Letters (3)

473 84 4
                                    

*note : cerita ini cerita ringan dan akan kubuat pendek2, semacam domestic / fluf ya. Semacam hubungan romantis pasangan yg memutuskan utk tinggal bersama dsb. Jd jangan berharap ada konflik. Akan kubuat menjadi beberapa chapter, semoga nggak bosan.



















Lima bulan kemudian...

Matahari sedang terbit, mengubah langit menjadi merah muda dan pasir berwarna keemasan. Seraya menggosok mata karena rasa perih akibat pasir dan asap knalpot kendaraan bermotor, Sasuke memandang ke seberang gurun dan bertanya-tanya apakah besok atau lusa dia masih akan hidup untuk menyaksikan pemandangan di depannya lagi di waktu yang lainnya nanti.

Ia terlelap selama satu jam dan terbangun selama dua jam berikutnya karena memimpikan Sakura. Tubuhnya mengejang karena hasrat yang seperti akan meledak, sementara hidungnya masih bisa menghirup dengan jelas aroma manis yang ditinggalkan kekasihnya.

Dan Sasuke memilih untuk merasakan insomnia yang akan membuat kepalanya berdenyut menyakitkan sesudahnya, ketimbang harus pergi tidur lalu memimpikan kekasihnya lagi. Tunangannya lagi.

Lima bulan. Dua puluh dua minggu. Seratus lima puluh empat hari. Seharusnya kerinduannya dan perasaannya kepada Sakura sudah memudar. Dia sengaja tidak menghubungi Jeonghan terlalu sering, sengaja tidak terlalu sering menjawab panggilan telpon atau membalas pesannya, karena ia takut jika ia mendengar suara Sakura sedikit saja akan membuat rasa rindunya membuncah.

Namun alih-alih padam, rasa rindunya semakin menggila, semakin membesar. Dia menghadapi dua dilema. Antara menghubungi Sakura hanya untuk mendengar suara atau tawa merdunya yang menyenangkan, sama seperti menuang bensin ke dalam api. Atau menahan rasa rindu itu mati-matian, meskipun dia tahu semakin ditahan semakin besar pula rasa rindunya.

Hanya tinggal satu hari lagi.

Besok malam dia akan pulang, terbang, melintasi langit berbintang, meninggalkan gurun yang telah menjadi rumahnya selama lima bulan terakhir. Dia akan pergi, kembali ke rumah yang ditempatinya bersama Sakura. Kembali ke apartemennya, tempatnya menghabiskan waktu selama tiga tahun terakhir bersama Sakura.

Sasuke bisa merasakan bukan hanya dia saja yang merasakan gairah itu. Para prajurit lainnya ikut merasakan gairah yang sama, di bawah topeng penuh ketegangan yang mereka pasang.

Sudah lama Sasuke bergabung dengan unit penjinak bom. Pekerjaan yang dia anggap berat, canggung, menantang, melelahkan, adiktif, dan penting.

Satu hari lagi. Akankah keberuntungan berpihak padanya? Apakah dia masih bisa hidup besok saat tiba waktunya untuk pulang kembali ke negaranya? Apakah dia masih memiliki kesempatan untuk hidup sementara terdengar suara tembakan dan ledakan satu-dua kali tak jauh dari tempatnya merebahkan diri sekarang?

"Mayor Uchiha. Ini kopimu, Sir." Sasuke mengangkat wajah saat mendapati pemuda awal dua puluhan bergerak ke arahnya dengan tangan membawa nampan yang di atasnya terdapat kaleng berisikan kopi hitam yang panas.

Sasuke menerimanya dengan enggan. "Aku selalu benci rasa kopi yang kau buat, Jugo."

Alih-alih tersinggung, Jugo justru tersenyum lebar dan memeluk nampan yang dia bawa. "Kau akan merindukanku dan kopi buatanku jika sudah kembali ke Konoha, Sir."

"Aku meragukan itu." Namun pada akhirnya Sasuke meminum kopinya hingga tandas dan mengembalikan kalengnya pada Jugo. Tak lupa ucapan terima kasihnya.

"Untungnya kau personal infanteri yang jauh lebih baik dari sekadar barista. Camkan itu ketika pulang nanti, oke?!" Sasuke beranjak dari kasur lipat yang sangat keras dan sedikit berbau apak, mengibaskan debu juga pasir dari seragamnya lalu berjalan menjauhi tenda. Jugo berjalan mengikuti di belakangnya.

KUMPULAN SHORT STORIES SSLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang