Scent of memory kembali tercium, meresap indah ke dalam sukma. Seperti setangkai mawar merah yang tergenggam hampa, durinya sudah rapuh dan daunnya sudah layu.
Jika memiliki mesin pemutar waktu, jelas ingin kembali ke masa lampau, dimana hidup mengalir seperti air sungai yang jernih. Gorden virtase yang tertiup angin mulai menguning karena terkena cahaya sunset, bayangan memudar memupuk asa.
Di tempat asing, kepak sayap menghampiri jendela luas yang berhadapan langsung dengan puluhan rumah, sejajar selaras beraneka ragam. Terasa pengap, namun dunia yang lain masih belum terbuka. Terkadang berpikir untuk apa burung-burung itu terbang jauh mencari sesuatu yang belum pasti? Lalu hinggap di pohon asing yang mudah tertiup angin.
Apakah itu sebuah konsep pertahanan hidup seperti halnya manusia purba yang terus bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain demi kelangsungan hidup? Namun, pada akhirnya mereka punah jua bukan?
Tidak, bukan bermaksud untuk pesimis. Hanya saja terkadang awan jingga di ufuk barat seolah memanggil untuk hilang sejenak, sore ini muncul sebuah angel ladder yang indah, tepat di depan mata, warnanya yang putih sangat kontras dengan alam orange. Ia memikat,
membuat kelopak mawar merah yang sedari tergenggam berguguran secara perlahan.Burung tidak lagi memiliki teman, semuanya hilang dalam sekejap setelah membuat keputusan besar untuk terbang lebih jauh. Sangkarnya tak lagi sama, kini lebih luas namun terasa lebih dingin, bukan karena suhu udara melainkan karena ketidakhadiran makhluk lain, kecuali seekor semut yang kerap datang untuk mencuri sebongkah gula.
Kau tidak akan pernah tahu, jika tidak mencoba.
...
"Selamat bekerja, ini tempat tinggal kamu selama disini."
"Ya, terimakasih nona."
Tidak ada lagi kelanjutan obrolan, ruangan sunyi di pavilliun kembali kosong. Banyak quotes indah yang tergantung di dinding, salah satunya bertuliskan 'Sweet Home', membuat bertanya-tanya dimana letak 'sweet' itu? jika penghuni nya menjadi individualism.
Burung kembali ke sangkarnya, hinggap memeluk tubuh dengan kedua sayapnya yang sudah rapuh, menghadap sebuah benda yang mengeluarkan cahaya. Sesekali senyuman terlukis kala paruhnya mengucapkan sebuah syair yang sudah terlewat, bukan tentang kisah asmaraloka, melainkan tentang sebuah lelucon tua.
Saat matahari sudah berada di belahan bumi lain, burung sadar bahwa malam yang dingin telah menjemput, namun rasa kantuk tak junjung datang, yang hinggap hanya perasaan bimbang. Hal itu terus mengusik, bagaimana dengan hari esok?
***
Ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan tentang 'hari esok', bahkan sekarang, setelah satu pekan berlalu. Kertas itu tercabik kasar, terbuang bersama rasa kecewa. Benar apa yang dikatakannya "Jangan mempercayai siapapun selain dirimu sendiri!"
Perjalanan baru akan dimulai, satu persatu. Aku sangat siap dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, segala resiko telah dipikirkan dengan matang.
Tangan wanita muda di hadapan ku mengulur hendak menyentuh bahu dengan tatapan pedih, namun dengan cepat aku menghindar demi melindungi identitas diri. "Maaf nona, saya harus kembali ke dapur.."
Tak sempat melihat reaksi wajahnya, aku langsung pergi meninggalkan ruang tamu yang selama ini menjadi tempat paling bising dan pengap.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Machiavellian (END)
Mystery / ThrillerApi dendam yang berkobar akan semakin besar ketika tertiup angin, pion hitam terjatuh satu persatu, seirama dengan deru nafas di ujung takdir. -Raen Hillga Muller,.