Perlintasan

8 0 0
                                    


Kami kembali berkumpul di sebuah ruangan, hari senin mungkin akan menjadi hari yang menegangkan dan melelahkan. Di depan kantor' anggota lain tengah mempersiapkan tempat untuk Pers, karena hari ini akan di lakukan perilisan barang bukti serta terdakwa sebelum memasuki babak sidang dakwaan.

Mungkin di luar sana awak media sudah berkerumun, maka dari itu Bapak Rangga segera keluar setelah mendapat informasi bahwa tempat Pers telah siap digunakan. Aku dan dua anggota lain menyusul di belakang, kali ini aku mengenakan seragam serta masker hitam, tidak seperti sebelumnya yang harus mengenakan pakaian non formal.

Suasana diluar cukup ramai, Bapak Rangga mulai berbicara di depan awak media sebelum terdakwa dikeluarkan. Barang bukti di depan ku telah siap, berupa dua paket sabu dengan berat berbeda, disana juga tersimpan tiga ponsel serta uang tunai senilai 40 juta rupiah.

Tak lama, anggota polisi lain menggiring terdakwa ke area Pers. Bandar utama yang berasal dari Timika berhasil ditangkap dan diamankan, kini para pemuda itu telah mengenakan baju tahanan sementara, dengan kepala pelontos dan tangan terikat borgol besi.

Lain halnya dengan pemandangan di depan, dekat salah satu kameraman yang tengah meliput acara dengan wajah serius. Mereka datang lagi, tatapan nya kian rapuh, namun pria lain menatap ku sesaat lalu cepat-cepat menunduk disaat aku membalas tatapannnya. Di satu sisi sepasang mata menuju ke arahku dengan amarah membumbung, namun ia tidak dapat berbuat apapun karena mengingat tempat dan kondisi.

Setelah Pers usai, terdakwa digiring kembali ke dalam tahanan sementara. Banyak awak media yang berlarian mengejar untuk mendapatkan informasi tambahan, salah satu target mereka adalah Bapak Rangga yang saat ini tengah membuka sarung tangan, jaraknya lumayan jauh dengan tempat ku berdiri.

Di bawah teriknya matahari, guguran daun usang dari pohon beringin tersapu angin. Beberapa mengenai kepala ku yang tak tertutup topi, karena tugas sudah selesai, aku meninggalkan tempat Pers dan mencari keberadaan Pak Agus untuk menanyakan suatu hal.

Namun Pak Agus tidak ada di pos satu, aku pun duduk sejenak untuk meredakan rasa lelah.

"Apa maksud kamu melakukan semua ini? Kenapa kamu ada disini memakai seragam kepolisian!!!?"

Suara itu terdengar menghentak hingga rongga dada, aku mendongak dan mendapati seorang wanita berbadan gempal menatap seraya menunjuk ke arah wajah. Ia mengenakan dress biru motif batik parang dan juga sepatu boots kulit.

"Saya hanya menjalankan tugas dari atasan.." Jawab ku singkat, berdiri tanpa membalas perbuatan kasarnya.

Wanita itu melayangkan sebuah tampar keras di pipi kanan ku. "Omong kosong!!! Saya tahu, maksud kamu ingin balas dendam kan? Gara-gara kamu sekarang anak saya ditangkap lagi dan tidak bisa ditebus dengan uang!"

"Tante Eve.... " Aku membalas tatapan matanya yang kian tajam.

"Saya tidak akan tinggal diam!!!"

Aku tersenyum lebar. "Kenapa?"

"Apalagi yang kamu rencanakan, Raen?"

Haruskah aku tertawa atau menangis? Setelah sekian lama, setelah apa yang telah Tante Eve lakukan pada keluarga kami. Sekalipun ia mengancam, kami tidak akan kalah lagi.

"Hitam atau putih bukan sebuah pilihan, melainkan keputusan. Saya harus kembali bertugas, permisi."

Aku meninggalkan Tante Eve yang tengah bergelut dengan amarahnya sendiri. Langkah kaki semakin cepat hampir berlari, ke arah belakang kantor, lalu bersandar pada tembok dekat pohon beringin besar. Disini lebih sejuk, tidak ada siapapun, selain burung merpati yang hinggap di atas patung harimau.

Machiavellian (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang