Floating Clouds

6 0 0
                                    


Hidup dan takdir, dua hal yang tak dapat dipisahkan. Begitu pun yang terjadi dalam perjalanan tanpa akhir ini, terasa begitu lama seperti mengejar pelangi di ujung pulau.

Waktu yang terlewat meninggalkan serpihan kisah, namun bekas luka itu masih membekas. Suara desing pesawat mengganggu tidur pria tangguh di depan ku, dia menggenggam sebuah buku diary yang sudah kusam.

Sebentar lagi menuju jadwal keberangkatan, tapi dia belum juga beranjak dari kursi, entah apa yang tengah ditunggu. Dalam hati kecil aku ingin berteriak, memeluk dan menangis di pelukannya, tanpa dia aku bukan apa-apa atau mungkin aku akan menjadi gadis tanpa jiwa. Tapi, aku hanya takut jika dia belum bersedia membuka identitas.

"Kenapa ngeliatin kaya gitu???"

"Gak kenapa-kenapa, sampai kapan kita menjadi asing???"

Pria itu menautkan kedua alisnya, dengan rambut berantakan pun masih terlihat berwibawa. "Maksudnya?"

"Kapan aku bisa panggil 'kakak' lagi kaya dulu? Apalagi yang harus kita sembunyikan? Keluarga Tante Eve sudah tahu siapa kita, Pak Rangga dan Belle pun sudah tahu identitas kita..." Aku menatapnya lebih dekat, kami duduk bersebelahan di kursi tunggu.

"Raizel... Kenapa gak mulai duluan? Gengsi?" dia malah menoyorku sambil tertawa kecil. "Ya panggil aja kalau mau, aku gak melarang lagi. Kalau menurut kamu semuanya sudah tahu siapa kita, silahkan panggil 'kakak'..."

"Oke, terus sebenarnya kita ke Singapore mau ngapain sih? Kakak dapat bonus ya makanya cuti terus mau ajak aku liburan???" tanya ku antusias.

Raen menggeleng pelan, tersenyum manis sambil mengusap rambut ku. "Bukan Zel, sudah satu bulan ini aku pindahkan Ibu ke rumah sakit Singapore karena selama di Bandung hanya ada perubahan kecil, Ibu masih belum ingat memori masa lalu. Jadi sekarang kita akan menemui ibu di Singapore, aku harap setelah ini kamu berhenti sedih Zel, tolong tetap sehat dan bahagia karena selain Ibu, kamu kekuatan aku di dunia ini.."

Mendengar kalimat yang keluar darinya justru membuat ku semakin sedih, tapi suara pemberitahuan keberangkatan pesawat menahan ku untuk menangis. "Ayo kita masuk sekarang!!"

Kami berjalan bersama menuju hallway, tiba-tiba Raen menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke belakang, aku ikut menoleh karena samar-samar mendengar seseorang memanggil namanya.

Dia berbalik arah dan berlari kecil tanpa mengajak ku, gesture tangan nya seolah menyuruh ku untuk tetap di tempat dan menunggu dari jarak cukup dekat sehingga aku bisa mendengar apa yang akan mereka bicarakan.

"Raen, aku minta maaf, sekali lagi aku minta maaf atas semua yang sudah dilakukan Papah..." Wanita di hadapan Raen langsung berlutut, aku hanya berharap tidak ada lagi drama setelah ini.

"Bangun Belle, ini tempat umum..." Raen membangunkan Belle dengan lembut, benar-benar pria luar biasa, entah di belahan bumi mana lagi aku bisa menemukan pria segentle dia.

"Jangan pergi, sejak kamu mengambil cuti, papah sering melamun dirumah, mengigau saat tidur seperti dihantui rasa bersalah... Sekarang Papah masuk rumah sakit karena terkena serangan jantung, aku mohon maafkan Papah.." Belle menangis tersedu, tangannya mengatup memohon maaf.

Kakak ku mengusap airmata Belle dengan kedua ibu jarinya, menatap sekejap lalu mereka berpelukan. Movie apa yang baru saja ku tonton? Wtf..

"Sudah jangan menangis, saya sudah maafkan kesalahan Bapak Rangga. Saya akan temui beliau setelah pulang, sekarang Saya dan Raizel harus pergi.." Raen melepaskan pelukan nya, kini berganti mengusap rambut Belle seperti yang sering dia lakukan padaku saat sedih.

Machiavellian (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang