B and N

4 0 0
                                    

"We gain and we lose, we enjoy and we suffer, it's a part of life."

...







Dua bulan pasca membuka sedikit cerita pada Belle, kami belum bertemu kembali karena aku sedang dalam proses menjalankan misi selanjutnya. Mungkin sekarang Belle dan Raizel tengah berbincang mengenai apa yang telah ku ceritakan, setidaknya Raizel tidak akan merasa terlalu terbebani oleh identitasnya sendiri.

Aku kembali ke rumah dinas disaat penghuni lain masih berada di Bareskrim, rasanya hampa bertahun-tahun hidup jauh dari Ibu, namun lagi-lagi realita memukul begitu keras bahwa aku harus terus berjuang demi harkat dan martabat keluarga.

Setelah bercengkrama sebentar dengan Pak Riyadi di pos, aku melepaskan sepatu di kursi teras, tiba-tiba pintu gerbang dibuka oleh security lalu datang sebuah mobil sedan hitam. Aku kembali berdiri dalam keadaan bertelanjang kaki, menelaah siapa yang baru saja datang.

Turun seorang wanita yang tak asing, mengenakan blouse putih dan rok span abu tua. Ia menenteng tas kecil dan juga sebuah goddie bag agak besar, berjalan dengan anggun sehingga tak terdengar ketukan dibawah heels hitam yang dikenakan nya.

"Hai, selamat sore... Raen."

"Ya, selamat sore. Nona Belle? Ada keperluan apa datang ke rumah dinas? Bapak Rangga tidak ada disini, beliau masih di kantor."

Belle tersenyum kecil, menyibak rambut panjang semi-curly nya ke belakang. "Aku gak lagi cari Papah, aku kesini mau antarkan ini buat kamu.."

Aku menatap goddie bag yang masih tergantung di jemari Belle. "Apa itu?"

"Untuk makan malam, aku yang masak sendiri."

Demi menghargai Belle dan Bapak Rangga, aku menerima pemberian tersebut. "Terimakasih banyak, oh ya.. Silahkan masuk, saya permisi bersih-bersih dan ganti baju dulu."

Belle menahan tangan ku diambang pintu. "Di dalam gak ada orang ya? Aku nunggu di kursi teras aja, kamu pasti risih juga kalau ada wanita di dalam rumah."

"Iya, silahkan.." Mataku beralih ke tangan Belle yang masih menggenggam pergelangan tangan ku dan ia menyadari hal itu.

"Maaf, Raen.." Belle melepaskan tangan nya. "Tolong jangan panggil aku Nona, panggil aja Belle..."

Aku hanya mengangguk lalu masuk ke dalam rumah, rasanya ingin segera menyelesaikan seluruh misi lalu kembali ke Bandung, menemui dan menemani Ibu.

Sikap Belle yang tampak manis dan lugu tidak setara dengan apa yang telah dijalaninya selama ini, dalam hati kecil aku tidak begitu percaya pada Belle karena dimasa lalu ia pernah menjalin kasih dengan Theo, seorang pengedar narkotika kelas kakap.

Ponsel berdering saat aku keluar dari kamar mandi, ternyata sudah tiga kali nomor tersebut memanggil namun tak terjawab. Aku segera mengangkatnya dengan cemas, bawahan mana yang berani mengabaikan panggilan dari pemimpin nya? Sebanyak tiga kali.

Sudah cukup lama berada di dalam kamar dan mengabaikan Belle diluar, aku mengambil sisa tenaga untuk melaksanakan tugas diluar kantor.

Belle masih ada diluar, duduk manis seraya memainkan ponsel.

"Tadi Bapak Rangga menelpon..." Ucap ku to the point hingga membuat Belle terkejut.

Ia memasukan ponselnya ke dalam tas. "Iya, tadi juga papah kirim pesan ke aku... Maaf ya Raen lagi-lagi aku ngerepotin kamu."

"Ya, saya harus mengantarkan kemana?"

"Ke rumah mantan mertua aku, ada hal yang ingin kami bahas disana, maka dari itu Papah minta kamu temani aku karena kalau aku pergi sendiri ditakutkan terjadi apa-apa..." Belle mengeratkan kedua tangannya dibawah, ekspresi wajahnya sulit dijabarkan.

Machiavellian (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang