Afsun

6 0 0
                                    

"She is walking, talking, smiling and breathing. But isnt living anymore, she is so dead inside."

***






Senja menelan jingga, bulan menarik bintang, hingga sampai purnama ke 14. Perubahan sudah terjadi setelah 2 musim hujan, perlahan.. Mulai mengerti bahwa kota metropolitan tidak seindah yang dibayangkan sebelumnya.

Memasuki rentang usia remaja, mindset semakin kritis. Apa yang selama ini terjadi ternyata salah, tidak seharusnya kami berada disini. Mereka mengambil energi kami sedikit demi sedikit, sampai pada tahap diambang kehancuran.

Sejak memasuki sekolah menengah pertama, Ibu tak pernah mengizinkan aku menemaninya setiap kali mereka ingin berbicara di ruang tamu. Seperti yang terjadi hari ini, minggu pertama dibulan Oktober. Aku hanya bisa menunggu dan menguping dari balik celah pintu, terlihat Ibu tengah duduk berhadapan dengan sepasang suami istri.

"Tenang saja, nanti hasilnya akan kembali dengan jumlah berkali lipat."

"Tapi benar kan tidak lebih dari satu tahun?"

"Tentu, saksinya suami saya... Sekarang kamu kan sudah tinggal disini, jadi tidak usah khawatir tentang tempat tinggal. Silahkan tempati rumah itu selama yang kalian inginkan, ya hitung-hitung sambil menunggu hasil kan?"

Aku melihat sepasang suami istri di dalam sana menopang kaki seraya menghisap rokok, kepulan asap nya membuat Ibu terbatuk hingga harus menutup hidungnya menggunakan kain lengan baju.

"Kamu ngapain disini?"

Seseorang menepuk pundak dengan keras sehingga membuat ku terkejut, tampak pemuda berseragam SMA berkacak pinggang menatap ku sinis.

"Eu.. Ini Bang, lagi antar Ibu.."

"Awas minggir!!!"

Lelaki itu mendorong tubuhku ke samping hingga menabrak lemari pajangan, ia masuk ke dalam ruang tamu dengan langkah tidak teratur, kedua matanya merah dengan kulit pucat.

Tak lama Ibu keluar dari ruang tamu dengan tangan kosong padahal sebelumnya ibu membawa kantong plastik hitam dengan ukuran cukup besar, perubahan ekspresi terjadi pada wajah Ibu disaat mendengar suara kaca pecah dari dalam ruang tamu.

"Ayo kita pulang nak, Ayah sama adik pasti sudah nunggu makanannya.."

Kami berdua pulang berjalan kaki, jaraknya cukup jauh, hal ini telah kami lakukan sejak pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta karena Ibu maupun Ayah tidak memiliki ponsel untuk memesan layanan ojek online, di area cluster belum pernah melihat ojek pangkalan yang barangkali kebetulan lewat.

Adik berlari dan memeluk Ibu begitu kami sampai rumah, Ayah pun ada disana, duduk di kursi rotan tempatnya menghabiskan senja seraya menunggu Ibu pulang.

"Bagaimana Bu?" tanya Ayah cemas.

"Sudah Yah, uang nya sudah Ibu berikan.." Sahut Ibu.

Jadi kantong plastik hitam yang tadi dibawa Ibu itu berisi uang? Untuk apa Ibu memberikannya ke mereka? Apakah Ibu memiliki utang?

"Ibu tadi kasih uang ke mereka???" tanyaku ketika kami sudah masuk ke dalam rumah dan berkumpul di ruang keluarga.

"Iya nak.." Jawab Ibu singkat, tangan nya tampak sibuk melipat pakaian yang baru saja di angkat dari tali jemuran.

"Kenapa tidak Ibu simpan di Bank? Kenapa harus di mereka?" tanyaku lagi, hal itu membuat Ibu meletakkan kembali barang di tangan nya.

"Kamu masih kecil nak, belum faham.."

Machiavellian (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang