CHAPTER: tan 45°×1÷1

8K 594 18
                                    

WARNING⚠

"Tandain kalau ada typo. Karena sesungguhnya manusia tidak luput dari kesalahan, begitupun dengan saya."

Ada sedikit perubahan dari segi alur juga ending.
Dan bagi kalian yang sudah membaca cerita ini mohon jangan spoiler!
~bagian ini telah direvisi

°°HAPPY READING°°

"Aku hanya manusia yang memiliki banyak kekurangan. Lalu lantas kenapa kamu menuntutku untuk sempurna?"

...............................


Kaki kecilnya melangkah perlahan memindai keadaan rumah, garasi sudah terisi itu berarti Papanya telah pulang, untuk kesekian kalinya ia menghela napas kasar. Sudah dari siang ia mencoba melafalkan kata-kata keramat itu, seharusnya ini mudah bukan? Namun faktanya tidak demikian.

Tarik napas, buang ....

Anggika mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia terperanjat begitu membuka pintu kondisi rumah dalam keadaan gelap gulita, seketika ia merasa sesak.

Papanya telah tahu.

"Pa ..." panggil Anggika lirih. Matanya terasa panas, ia ingin menangis.

Suara tepuk tangan menggema diantara ruang gelap itu. "Wah hebat, pintar sekali kamu Anggika."

Dadanya semakin sesak, cariran bening yang sedari tadi ditahannya merosok keluar. Anggika tahu itu bukanlah pujian melainkan sindiran.

"Maaf, Anggika janji bakal lebih baik lagi. Aku akan belajar lebih giat lagi," kata Anggika cepat sambil menundukkan kepala, meski keadaan rumah gelap ia bisa melihat jelas sorot mata Papanya yang tajam.

Dewa---Papanya menyalakan lampu. Pria paruh baya itu berdecak sinis memandang Anggika yang sudah terisak. "Itu sudah sepantasnya Anggika. Saya dengan bangga membicarakan kamu kepada rekan bisnis saya, dan ini balasan kamu? Pikir pake otak kamu, Anggika! SAYA MALU MEMPUNYAI ANAK BODOH SEPERTI KAMU!"

"Ma---maaf ...."

"Kamu itu putri dari seorang Dewa Sudirdja seharusnya mendapatkan nilai seratus bukan hal sulit untuk kamu. Dasar bodoh, ibu dan anak sama-sama bodoh!"

Anggika menggeleng. "Ini semua salah aku, Papa jangan bawa nama mama. Mama udah tenang di surga."

Dewa memalingkan wajahnya lalu menghela napas pelan. Darah lebih kental dari air, mau ia seberusaha apapun darah wanita bodoh itu mengalir di tubuh anaknya.

"Masuk kamar kamu, belajar jangan langsung tidur bila perlu malam ini begadang. Ingat Anggika, saya tidak pernah mengajarkan kamu ketidaksempurnaan."

Anggika tersenyum kecut mendengar kalimat terakhir Papanya. Sempurna? Orang-orang selalu bilang hidup Anggika terlampau sempurna, memiliki Papa yang selalu menyayangi dan memujinya setiap di depan rekan kerjanya, hidup bergelimang harta juga diberkati otak yang lumayan pintar. Apa itu yang dinamakan sempurna?  Tapi apa mereka tahu kalau hidupnya penuh tekanan? Tidak! Mereka hanya melihat topeng luarnya saja.

Selalu dibanggakan di depan orang lain bagai momok tersendiri bagi Anggika. Ia selalu dituntut lebih, dan lebih baik lagi. Papanya selalu kurang dengan pencapaian Anggika meski sebanyak apapun piala, dan piagam penghargaan seperti tidak ada gunanya dan tidak berarti. Anggika tetaplah anak bodoh bagi Papanya.

Anggika menatap nanar nilai ulangan Fisikanya. Angka 89 tertera di pojok paling atas.

Ia sudah berusaha.

12 IPA 3 (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang