11. Bertemu Appa?

2 3 0
                                    

Hamparan bunga dandelion begitu memanjakan mataku, semerbak bunga tulip yang bermekaran tak jauh dari ladang bunga dandelion membuatku merasa tenang, aku menatap sekitar yang terasa sepi, hanya suara kicauan burung dan gemerisik daun yang saling bergesekan.

Aku memandang sekeliling dengan penuh tanya, entah lah. Aku tak tahu aku tengah berada dimana, saat pandanganku menatap setiap sudut hamparan ladang bunga ini, aku melihat seorang pria tengah berdiri di sekitar ladang bunga tulip, perawakannya terasa begitu tak asing.

Puluhan kupu-kupu tengah berterbangan ke sana kemari melewati tubuh pria tersebut. Aku mendekat ke arahnya, hingga  tinggal 10 langkah lagi aku sampai, ia berbalik menatapku.

Dalam setelan serba putih miliknya, ia memandangku dengan teduh. Senyumnya perlahan-lahan mengembang mengingatkanku akan Na Jaemin. Lutut ku lemas tak bertenaga, aku menggeleng tak percaya dengan apa yang ku lihat.

Perasaan sakit, sesak, rindu dan semua yang selama ini menggangguku menguap begitu saja, bersamaan desiran angin yang menyapu lembut wajahku. Entah sejak kapan air mataku mengalir begitu saja.

"Appa?" Sapaku. Ia tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangannya, tanpa ragu aku berlari ke arahnya untuk memeluk raga yang selama ini aku rindukan. Tangisku pecah begitu saja, Appa hanya menepuk punggungku dan beberapa kali mengecup pucuk kepalaku.

"Gwenchana Na Miran, bertahanlah sebentar lagi. Appa akan selalu berada di sisimu" ucapnya. Aku menggeleng, rasanya aku ingin tetap berada disini, menghabiskan banyak waktu bersama Appa, tapi Tuhan masih belum mengizinkannya.

"Aku merindukanmu Appa, aku lelah dengan semua ini" parauku, ku rasakan sapuan hangat di kedua pipiku, Appa menggeleng "kembalilah, belum waktunya kamu disini. Jaemin menunggumu, begitupun CyA. Jangan membuat mereka yang menunggumu khawatir" ucap Appa dengan memundurkan sedikit tubuhnya.

"Waktu kita sudah habis, kembalilah anakku. Jangan sia-sia kan kesempatan yang tersisa" ucapnya pelan, bersamaan dengan raganya yang perlahan memudar hilang entah kemana.

"TIDAK, APPA!" Teriakku.

**

Aku terbangun dengan keringat yang bercucuran, kutatap sekelilingku yang gelap. Bau obat-obatan terasa menyengat indera penciumanku, aku menatap Jaemin dan CyA yang tengah tidur dengan posisi duduk di sebuah sofa panjang yang berada di pojok ruangan.

Aku mendudukkan diriku dan mulai mengambil segelas air yang berada di atas nakas samping ranjangku. Setelah menghabiskan separuh air minum, aku menatap jendela yamg tengah menyuguhkan pemandangan langit malam. Ribuan bintang tengah bersinar terang, namun netraku memandang ke arag satu bintang yang bersinar paling terang malam ini.

"Appa" gumamku lirih. Aku menunduk meremat ujung selimut yang membalut tubuhku. "Eoh.. Miran?" Aku menoleh menatap CyA dengan muka khas bangun tidur miliknya, aku terkekeh dan merentangkan kedua tanganku, CyA mendekapku erat. Ku hirup aroma maskulin miliknya yang tak pernah berubah.

"Aku ingin keluar" ucapku. CyA menurutiku dan membawaku ke rooftop rumah sakit, ku lihat jalanan kota yang mulai terlihat bersih dari tumpukan salju. Namun sayangnya udara masih terasa dingin, CyA memakaikan ku mantel miliknya. Ia membiarkan dirinya terkena udara dingin yang begitu menusuk.

"Kau bisa sakit" ucapku, ia menggeleng. Ku hela nafasku, hening menyelimuti kami berdua. "Sebenarnya aku sakit apa CyA?" Tanyaku pelan. CyA menatapku sendu, ia menunduk entah melihat apa. Kedua bahu miliknya bergetar hebat, isakan miliknya terdengar begitu jelas.

"Hei, kenapa menangis?" Ucapku panik. CyA mendongak ke arahku, ia memelukku erat seraya berkata "kamu harus sembuh Na Miran".

CyA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang