chapter 2

145 23 3
                                    

🌃🌃🌃
____________________________

"Perjalanan sepertinya akan terjal dan curam."
____________________________

🌃🌃🌃

Rumah adalah tempat ternyaman untuk berteduh. Tempat yang menjadi tempat pulang kala rutinitas harian selesai.

Rumah bagi keluarga Ashana adalah tempat pulang. Tempat dimana mereka berkumpul dan mencipta bahagia bersama. Beberapa hari lalu, rumah masih berada dalam suasana bahagia. Namun, sudah tujuh hari tempat tersebut berselubung duka. Karena pemimpin dalam rumah sudah pergi meninggalkan penghuninya tanpa salam perpisahan sebelumnya.

Luka yang orang-orang katakan akan memudar seiring waktu nyatanya malah berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan penghuni rumah. Luka itu nyatanya semakin hari semakin menganga. Mereka semua lemah, tidak berdaya menghadapi takdir.

"Hana, ibu dimana?"

Ashana yang tadinya sedang hanyut dalam lamunan kini menoleh ke arah Aiman yang bertanya padanya.

"Ibu tadi pamit ke kamar, Bang."

Aiman menganggukkan kepalanya. Kemudian dia berlalu pergi ke arah kamar ibunya.

Sementara itu, Ashana yang tadinya melamun saja kini mencoba mencari pekerjaan apa yang bisa dia lakukan. Karena jika terus hanyut dalam lamunan, dia takut nantinya akan hilang akal.

Kakinya melangkah menuju ke depan rumah. Dia melihat Fatih sedang berlari memutari halaman dengan mobil-mobilan yang diberikan oleh adik ayahnya yang menetap di Malaysia saat mereka melayat dua hari lalu. Bocah kecil itu tampaknya mulai melupakan rasa sedih dan tidak lagi bertanya keberadaan ayahnya. Bagi anak berusia empat tahun, rasa kehilangan memang belum begitu menancap di hatinya. Tidak seperti dirinya dan dua saudaranya yang lainnya. Mereka sudah memahami bagaimana pedihnya kehilangan.

"Jadi Fatih enak ya, Kak. Dia nggak perlu ngerasain gimana sakitnya ditinggal ayah. Dia mudah sekali ditipu dengan bilang ayah pergi kerja yang jauh."

Ashana menoleh ke arah adik perempuannya yang tiba-tiba saja sudah ikut berdiri memandangi Fatih. Dia tersenyum lirih ketika Laila terlihat iri dengan adik bungsunya.

"Fatih juga sedih, La. Dia bahkan akan lebih merasa sedih nantinya saat dia udah paham apa yang terjadi pada ayah. Dia mungkin akan menjadi yang paling sedih di antara kita karena nggak punya banyak kenangan bersama ayah."

Ashana melihat mata Laila mulai kembali berair. Gadis kecil berusia sepuluh tahun itu kini mulai kembali menangis.

"Lala juga belum punya banyak kenangan dengan ayah. Lala masih mau di sayang sama ayah." Gumam Laila dengan suara isakan yang mulai terdengar.

Ashana menahan laju air matanya. Dia tidak boleh menangis di depan adiknya. Mereka tidak boleh larut dalam kesedihan. Dia hanya mengusap bahu kecil milik Laila untuk menenangkan adiknya tersebut.

"Gimana hidup kita nanti tanpa ayah, Kak?"

Ashana tersentak. Dia baru menyadari satu hal setelah tujuh hari kepergian ayahnya. Laila benar, bagaimana hidup mereka setelah ayah mereka tiada. Pasalnya selama ini hanya ayah yang bekerja. Sementara ibu mendedikasikan dirinya untuk mengurus mereka semua di rumah sebagai ibu rumah tangga. Kini, saat ayahnya tiada, dari mana sumber pendapatan akan mereka dapatkan?

Ketika Hidup Bukan Hanya Untuk Hari ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang