Chapter 9

80 14 1
                                    

🌃🌃🌃
_______________________________________

Titik yang terlupakan dalam hiruk pikuk kenyataan
______________________________________

🌃🌃🌃

Ashana terdiam membeku ditempatnya saat dia baru menyadari bahwa sejarah baru sudah tercatat di hidupnya. Sepanjang enam belas tahun dan sepuluh tahun berada di bangku sekolah, rasanya dia tidak pernah melupakan tugas sekolah yang harus dia selesaikan di rumah. Namun, hari ini dia telah melupakan satu tugasnya itu. Bagi Ashana yang selalu berusaha sempurna dalam akademiknya, hal ini adalah sebuah coretan merah.

Saat ini, pandangan seluruh penghuni kelas sepenuhnya untuk Ashana. Sebab murid terbaik di angkatan mereka baru saja mengatakan jika dia melupakan tugas rumahnya. Dimana itu tampaknya hal mustahil setelah mereka saling mengenal hampir satu tahun belakangan ini.

"Ibu kira kamu sedang bercanda, Ashana. Ternyata kamu benar-benar tidak mengerjakan PR kamu?" Tanya guru mata pelajaran fisika di kelasnya.

Ashana hanya terdiam dengan sejuta penyesalan dalam hatinya. Dia merasa kecewa karena bisa-bisanya dia melupakan hal penting itu.

"Maaf, Bu Dinda. Saya lupa." Cicit Ashana dengan lesu.

Bu guru yang bernama Dinda itu tersenyum maklum. Beliau tau dengan pasti jika Ashana tidak mungkin sengaja melupakan pekerjaan rumah tersebut. Pasti ada alasan kenapa anak murid teladannya bisa melupakan tugas darinya.

"Ya sudah. Jadi, bagi yang tidak mengerjakan PR ini, maka kalian setidaknya harus mendapatkan nilai yang bagus di ujian tengah semester kita nanti, ya?"

Seluruh murid mengiyakan ucapan dari guru tersebut.

"Santai, Ashana. Lupa buat PR begini nggak bakal bikin nilai kamu turun kok. Semangat, ya!"

Ashana hanya bisa duduk sambil tersenyum miris pada Diana yang memberinya semangat. "Aku cuma kecewa aja sama diri sendiri, Di. Kenapa bisa aku lupa kalau ada PR?" Lirih Ashana.

"Lupa sesekali itu wajar kok. Kalau lupa berkali-kali kayak Mamat tuh baru nggak wajar." Ledek Diana dengan sengaja untuk teman yang duduk di belakangnya.

"Eh! Lo sama gue itu sebelas dua belas, ya. Kalo gue nggak buat PR lima kali, lo paling empat kali." Ledek Mamat balik.

"Fitnah dari mana itu? Jangan sok tau lo, ya."

"Lo duluan yang sok tau." Balas Mamat.

"Gue tabok lo, ya." Kesal Diana dengan tangan yang di ancang-ancang hendak memukul Mamat.

"Diana... Ahmad. Jangan bertengkar. Fokus ke depan sini." Lerai Bu Dinda saat melihat anak didiknya mulai beradu mulut.

Ashana hanya bisa tersenyum dengan terpaksa. Hari ini dia sudah kehilangan minat untuk belajar. Kepalanya kini dipenuhi oleh kekecewaan yang membuat dia merasa tidak adil. Sebab, kemungkinan besar dia melupakan tugasnya karena sibuk berjualan dan mengurus rumah. Dia larut dalam lelahnya bekerja hingga lupa jika dia harus fokus di pendidikannya agar bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

***

Saat bel istirahat berbunyi, Ashana yang biasanya menghabiskan bekalnya di dalam kelas kini ikut bersama Diana dan Ijah ke kantin. Karena, jika dia tetap berada di kelas sendirian, dia takut akan menangis sebab kekesalannya tadi pagi belum bisa dia salurkan dengan baik.

"Pojok sana aja yuk." Ajak Diana sambil menggeret kedua temannya.

Ashana meletakkan kotak bekal dan botol minumnya di atas meja. Dia tidak langsung membuka kotak tersebut karena menunggu teman-temannya memesan lebih dulu.

Ketika Hidup Bukan Hanya Untuk Hari ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang