Chapter 4

113 27 7
                                    

🌃🌃🌃
______________________________

Kisah yang merangkul cerita dalam hidup
______________________________


🌃🌃🌃

Bagian baru dalam kehidupan keluarga Ashana mulai terbentuk. Meninggalkan kesedihan yang kemarin sempat berlarut, kini mereka mencoba untuk menjadi versi terbaik mereka masing-masing. Dalam putaran waktu tujuh bulan lamanya, mereka mulai menyusun angan-angan baru.

Ashana tidak lagi bertumpu pada mimpinya. Kini dia melahap habis semua pelajaran tanpa memikirkan pelajaran utama apa yang bisa menyokongnya untuk masuk ke pendidikan kedokteran. Dia hanya mencoba belajar dengan giat agar bisa kembali menjadi yang terbaik. Tujuannya hanyalah untuk mendapatkan beasiswa agar mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi.

Ketiga saudaranya yang lain juga sama seperti dirinya. Laila yang dulunya begitu tidak mengacuhkan pendidikan, kini mulai tekun belajar meski masih terseok dengan kemampuan menghitungnya.

Aiman yang telah menyelesaikan masa kuliahnya kini sudah mulai bekerja. Anak pertama dari keluarga mereka itu tidak memilih-milih pekerjaan. Dia rela bekerja apa saja asalkan halal. Seperti sekarang, dia sedang bekerja di dua tempat berbeda. Jika paginya dia bekerja di pasar, maka malamnya dia bekerja di restoran sebagai pramusaji.

Sementara Fatih, bocah kecil itu tugasnya adalah menjaga ibu. Karena ibu mengalami stroke dua bulan yang lalu. Kini, beliau tidak bisa melakukan apapun. Hanya tidur dengan wajah sedih menyaksikan anak-anaknya harus mandiri di usia belia.

***

Hari ini, Ashana pergi ke sekolah dengan dua kantung berisi toples. Di dalam toples tersebut terdapat donat dan juga bakwan yang akan dia jual melalui kantin sekolah.

Dia bersyukur karena ibu kantin mengizinkan dirinya untuk meletakkan jualannya di sana. Karena berkat hal tersebut, Ashana bisa meringankan beban kakak laki-lakinya. Meski hanya sebatas jajan untuk Fatih dan uang sakunya juga Laila.

"Assalamualaikum Bu Imah. Selamat pagi." Sapa Ashana dengan wajah sumringah seperti biasanya.

"Waalaikumsalam. Anak rajin ibu udah datang ternyata. Nggak bosan-bosan kamu masuk sekolah pagi-pagi buta, ya." Kelakar Bu Imah.

Beliau begitu salut melihat kerja keras Ashana selama setengah tahun ini. Anak itu tampak sangat antusias di segala waktu. Meskipun harus jualan, tetapi gadis muda itu selalu menjadi orang pertama yang hadir ke sekolah. Bahkan terkadang membantu dirinya menyusun dagangan.

"Rumah Ashana 'kan dekat, Bu. Sepuluh menit jalan kaki udah sampai ke sekolah. Makanya bisa datang cepat."

Bu Imah hanya tersenyum saja. Bahkan jika jarak tempuh rumah dan sekolahnya jauh, anak itu pasti akan tetap datang cepat.

"Oh iya, sebentar lagi kalian ujian semester 'kan? Mau tetap jualan?" Tanya Bu Imah. Beliau tidak mau jika pendidikan Ashana terganggu karena mencari uang seperti ini.

"Iya, Bu. Ashana udah bagi waktu kok. Walaupun jualan, Ashana tetap belajar."

Jawaban itu membuat Bu Imah lega.

"Bu, kalau donat-donatnya Ashana tambah untuk jualan di kedai gimana?"

Kelegaan bu Imah mendadak sirna. "Ya ampun, Ashana. Tunggu kamu selesai ujian dulu. Ibu kok jadi serem mikirin kamu yang nggak ada istirahatnya kalau buat donat sebanyak itu." Keluh Bu Imah.

Sementara Ashana hanya cengengesan sambil mengelap meja kantin.

***

Jam istirahat yang biasanya digunakan dengan seksama oleh para murid untuk mengisi perut mereka, di alih fungsikan oleh Ashana menjadi momentum untuk mengerjakan pekerjaan rumah yanga baru saja diberikan oleh guru. Dia melakukan hal ini agar sesampainya di rumah dia bisa fokus untuk membersihkan rumah dan mengurus ibunya. Sebab di malam hari dia harus membuat kue untuk esok hari.

Ketika Hidup Bukan Hanya Untuk Hari ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang