🌃🌃🌃
________________________________Manakala hari berganti dengan putaran waktu yang terasa lebih cepat.
________________________________
🌃🌃🌃
Enam puluh hari sudah berlalu dari hari sang kepala keluarga pergi. Mereka sang penghuni rumah masih belum bisa beradaptasi dengan baik setelah hari itu.
Ibu yang sebelumnya terlihat baik-baik saja kini mulai lebih sering sakit-sakitan. Terkadang lemas tidak berdaya. Terkadang pula anak-anaknya sampai tunggang langgang membawanya ke rumah sakit akibat sesak yang tiba-tiba muncul tanpa sebab.
Para tetangga mengatakan penyakit itu timbul karena rasa kehilangan. Tubuh renta ibu mereka tidak sekuat dulu untuk menahan tekanan di hati. Namun, bagi mereka itu adalah sebuah jalan hidup yang harus mereka hadapi. Meski jauh di dalam lubuk hati yang terdalam, Ashana dan Aiman ingin membenarkan ucapan orang-orang tersebut. Ibu mereka mungkin begitu mencintai sang ayah hingga merasakan kehilangan sedalam ini.
"Hana, kamu yakin nggak mau lanjut ke SMA Pertama Utama?"
Ashana yang saat ini sedang menjemur pakaian di halaman belakang rumah mengangguk dengan yakin pertanyaan Aiman.
"Kita masih sanggup kok sama biaya sekolahnya." Lanjut Aiman.
Ashana tetap menggelengkan kepalanya. Dia mungkin bisa sekolah di tempat itu, namun dia tidak yakin untuk setelahnya apa bisa dia berkuliah. Tabungan ayah tidaklah sebanyak itu. Masih ada dua adiknya yang perlu melanjutkan sekolah.
"Sebentar lagi Abang lulus kuliah, Na. Abang akan cari kerja. Jadi kita pasti punya uang tambahan untuk sekolah kamu." Jelas Aiman lagi. Bahkan saat ini dia sampai berdiri dari duduknya untuk mendekati Ashana.
Ashana menghembuskan nafasnya saat selesai menjemur pakaian. Dia membalikkan badannya dan menemukan kakak laki-lakinya sedang berdiri dengan wajah sungguh-sungguh.
"Bang, Hana hanya memikirkan kehidupan kita dalam jangka waktu panjang. Kalau semua yang kita punya Abang berikan pada Hana, lalu gimana dengan Lala dan Fatih? Mereka juga butuh biaya. Dan lagi, ada ibu yang harus kita jaga. Dari pada untuk biaya sekolah Hana, uang tabungan yang kita punya lebih baik kita simpan. Kita nggak tau kapan ibu butuh biaya untuk kesehatannya lagi 'kan? Hana mau yang terbaik untuk ibu."
Ashana menatap Aiman dengan sungguh-sungguh. Dia sudah meyakinkan diri untuk tidak lagi menaruh mimpi tinggi untuk masa depannya. Dia akan mencoba realistis dengan kehidupannya saat ini. Dibanding mengejar cita-cita yang sudah terlalu abu-abu untuknya, dia lebih memilih untuk bertahan hidup dengan jalur impian yang lain.
"Gimana dengan impian kamu, Hana?"
Ashana tersenyum dengan lebar. Dia tau Aiman pasti mengkhawatirkan tentang mimpi yang selalu dia gembar gemborkan selama ini.
"Mimpi Hana sekarang udah berubah, Bang. Hana punya mimpi lain untuk diri Hana. Dan pastinya, mimpi itu sama besarnya dengan mimpi Hana yang dulu." Jelas Hana.
"Apa itu?"
Pertanyaan Aiman itu dibalas dengan senyuman oleh Hana. Gadis berusia lima belas tahun itu memilih untuk mengangkat ember bekas jemurannya dibandingkan dengan menjawab pertanyaan kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hidup Bukan Hanya Untuk Hari ini
ChickLitIni tentang Ashana Fatina. Si tengah yang harus selalu menjadi penengah. Si ramah yang harus sering mengalah. Si kuat yang tidak boleh penat. Si penumpu yang sayangnya tidak jua memiliki tempat menumpu.