Chapter 5

105 19 3
                                    

🌃🌃🌃
______________________________________

Tahan yang tak tertahan dalam waktu
______________________________________

🌃🌃🌃

Setiap yang datang pasti silih berganti akan pergi. Entah itu untuk sementara atau selamanya. Setiap kebersamaan pasti akan ada perpisahan, entah dalam keadaan rela atau terpaksa.

Hari ini keluarga Ashana mendapatkan sebuah berita yang bisa dikatakan baik namun sedikit pelik. Aiman yang seminggu lalu pernah mengatakan jika dia meminta lowongan pekerjaan pada salah satu seniornya dulu di kampus kini kembali menyampaikan kelanjutannya pada Ashana selaku adik tertuanya.

"Abang pikir kerjanya bisa di Indonesia, tapi ternyata penempatannya di luar negeri." Curah Aiman pada Ashana.

"Terus, Abang bilang apa sama seniornya Abang itu?"

Aiman menghela napasnya. Sebenarnya ini pilihan yang amat berat. Dia tidak bisa meninggalkan keluarganya terlalu jauh. Jika hanya berbeda kota, dia bisa dengan mudah pulang untuk memastikan kondisi rumah serta keluarganya. Namun, jika sudah di negara berbeda, Aiman tidak yakin jika dia bisa pulang meski hanya dalam setahun sekali.

"Hana nggak akan menentang apapun keputusan Abang. Karena Abang juga berhak meraih impian Abang sendiri. Kalau memang pekerjaannya baik, Abang bisa pikirkan dengan baik juga."

Aiman menoleh pada Ashana. "Abang belum bilang apapun. Belum ada keputusan yang pasti." Jawabnya. Lagi pula, dia tidak bisa gegabah dalam menentukan arah hidup. Karena hidupnya bukan hanya tentang dirinya sendiri. Melainkan juga keluarganya.

"Kak Hana!! Lala nggak mau jagain Fatih lagi. Capek!!"

Kepala Ashana dan Aiman sontak menoleh ke arah belakang. Mereka bisa melihat kedua adiknya yang berdiri dengan masing-masing kekesalan di wajahnya.

"Abang!!" Pekik Fatih lalu berlari menuju Aiman. Bocah kecil itu langsung naik ke pangkuan kakak laki-lakinya dan menyembunyikan wajahnya di depan badan Aiman.

"Kenapa lagi, La?" Tanya Ashana lelah. Dia hanya melimpahkan tugas menjaga Fatih pada Laila. Tapi anak itu sudah kewalahan. Sedangkan dia sejak subuh hingga malam mengerjakan semua pekerjaan rumah juga mempersiapkan dagangannya.

"Fatih nakal, Kak. Dia sengaja buang-buang mainan biar Lala capek. Terus itu liat! Dia sengaja usap tangan penuh coklatnya ke baju." Keluh Laila.

Ashana hanya bisa menghela napas. Dia menatap tangannya yang saat ini sedang menguleni donat. Betapa pegalnya dia.

"Kamu harusnya sabar, La. Kan bisa bilang baik-baik sama Fatih."

Laila mengerucutkan bibirnya. "Selalu Lala yang di suruh sabar! Sedangkan Fatih bebas mau senakal apapun. Kakak pilih kasih!!" Pekiknya lalu berlari ke arah kamar ibunya.

Ashana diam mematung. Begitu pula dengan Aiman. Mereka saling beradu tatap. Ada rasa lelah yang sama di mata mereka.

"Ternyata nggak mudah mendidik anak, ya Bang. Apalagi seusia Lala dan Fatih." Gumam Ashana.

Aiman hanya diam. Meski di dalam hatinya dia setuju. Tidak mudah membentuk karakter anak-anak. Karena jika salah mendidiknya, mereka bisa kewalahan di masa dewasa nanti.

***

Keluh Laila tempo hari membuat kegiatan Ashana bertambah. Kini, dia bukan hanya perlu memikirkan urusan rumah saja, melainkan juga memomong Fatih.

Jika boleh mengeluh, Ashana ingin sekali menegur Laila yang tidak mau melakukan apapun untuk meringankan bebannya. Namun, mengingat Laila masih seorang bocah kecil yang ingin bebas bermain, dia menjadi urung melakukannya. Meski di usia Laila seharusnya sudah mampu melakukan hal sederhana seperti membantu mengambilkan keperluan Ashana selama menyiapkan dagangan.

Ketika Hidup Bukan Hanya Untuk Hari ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang