Chapter 10

188 17 3
                                    

🌃🌃🌃
______________________________________

Bertubi-tubi dan berulang kali meratapi yang mungkin pergi

_______________________________________

🌃🌃🌃

Ini menjadi akhir pekan yang sibuk bagi Ashana. Karena untuk pertama kalinya dia dipercaya membuat kue untuk acara arisan salah satu tetangganya. Ada sekitar dua ratus potong kue yang harus dia selesaikan sebelum pukul dua belas siang nanti. Meski badannya sudah terasa pegal, Ashana tetap sumringah menyelesaikan pekerjaannya. Karena hari ini, dia akan mendapatkan penghasilan yang biasanya hanya bisa dia kumpulkan setelah berjualan selama empat hari.

"Akhirnya tinggal dibungkus aja." Gumam Ashana dengan wajah bahagia. Lalu, setelah itu dia menyiapkan plastik untuk membungkus semua kue yang sudah ada di depannya.

Karena dia mengerjakannya seorang diri. Jadi, butuh waktu setidaknya selama satu jam untuk mengemas kue-kue tersebut.

"Lala! Bantu kakak bawa kue ke rumah Bu Tati, yuk." Pekik Ashana pada Laila yang sedang berlatih menari seorang diri di ruang keluarga.

"Iya, bentar!"

Ashana tersenyum mendengar jawaban Laila. Kali ini adiknya itu tidak akan membangkang. Sebab, tadi pagi dia sudah membuat janji pada Laila dan Fatih jika mereka akan membeli kebab setelah pekerjaan Ashana selesai.

Tepat pukul setengah dua belas, Ashana dan Laila sudah berada di rumah sang pemilik acara. Mereka menyerahkan dua bungkusan kue pada pemilik rumah. Setelah itu, Bu Tati langsung membayar pesanannya dan memberi Ashana satu bungkus besar makanan.

"Terimakasih banyak, Bu Tati." Ucap Ashana sepenuh hati.

"Ini anaknya Bu Ina, kan?"

Ashana menoleh ke arah seorang wanita paruh baya yang bertanya padanya. Dia tersenyum lalu mengangguk meski dia tidak tau siapa orang yang sedang tersenyum padanya itu.

"Gimana kabar ibu kamu, udah sehat? Kok nggak pernah kelihatan lagi." Tanyanya lagi.

"Alhamdulillah, Sehat, Bu. Tapi Ibu udah nggak bisa bepergian lagi. Jadi cuma di rumah aja."

"Sakit dong itu namanya."

Celetukan itu memancing kekesalan Laila. Gadis kecil itu tidak segan-segan memicingkan mata pada wanita yang baru saja berkata tidak baik pada ibunya dengan mimik wajah yang kentara sekali terlihat sinis.

"Nggak baik ngomong begitu, Bu. Bu Ina sekarang memang udah sehat kok. Cuma, karena sempat stroke waktu beberapa bulan yang lalu makanya masih belum bisa jalan." Potong Bu Tati.

Ashana menyenggol lengan Laila yang masih dengan mode kesalnya. Dia lalu hanya tersenyum tipis ke arah dua ibu-ibu di depannya sebelum pamit pulang.

"Kasian ya anak si Ina. Sekarang sampai harus jualan kue. Mana yang sulung udah merantau lagi."

"Iya, Bu. Padahal dulu hidup mereka adem banget, ya. Harmonis. Kalau kata orang-orang sini tuh keluarga idaman."

"Sekarang jadi gitu. Kasian ya."

"Itu anak-anaknya jadi sering keluyuran juga. Padahal dulu anak rumahan sekali."

"Yang sulung itu beneran merantau atau gimana ya? Si Hana masih giat sekali itu jualannya."

Bisik-bisik itu semakin membuat Laila kegerahan. Dia bahkan sudah siap berbalik untuk mencerca orang-orang yang sedang bergunjing dengan bersembunyi dibalik rasa iba itu.

Ketika Hidup Bukan Hanya Untuk Hari ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang