Chapter 6

102 23 5
                                    

🌃🌃🌃
_______________________________________

Beban berat pada pundak yang kuat
_______________________________________

🌃🌃🌃

Ada yang berbeda dari gelagat Aiman selama tiga hari ini. Anak sulung dari Bapak Deni itu terlihat menjadi sedikit pendiam dari biasanya. Fokusnya juga acap kali hilang kala dia sedang duduk sendiri dengan pandangan kosong. Awalnya Ashana berpikir kakak laki-lakinya itu sedang bimbang untuk menerima atau menolak tawaran pekerjaan di luar negeri, namun semakin hari Ashana merasa ada hal lain yang sedang dipikirkan oleh Kakak laki-lakinya tersebut.

Seperti halnya hari ini. Ashana yang baru pulang dari sekolah melihat kakaknya sedang duduk termenung di depan teras rumah. Padahal biasanya di jam sekarang ini Aiman masih berada di toko.

"Abang pulang cepat?" Tanya Ashana.

Aiman terlonjak kaget karena tiba-tiba Ashana sudah berdiri di depannya dengan tangan yang memutar-mutar toples plastik kosong. Pertanda jika hari ini dagangannya terjual habis.

"Iya. Toko cuma buka setengah hari."

Jawaban Aiman tersebut membuat Ashana bingung. Toko yang seharusnya lebih sering terbuka malah menjadi sering di tutup. Entah ada keperluan apa si pemilik hingga sangat sering menutup tokonya setengah hari kerja.

"Toko aneh." Gumam Ashana. Setelah itu, dia melangkahkan kakinya masuk ke rumah.

"Hana..."

Pandangan Ashana berbalik ke arah Aiman yang memanggilnya. Dia melihat Aiman yang sedang menatapnya dengan tatapan penuh arti.

"Maafkan Abang, ya?"

Kening Ashana sontak mengerut. "Kenapa tiba-tiba minta maaf?" Tanyanya.

"Maaf karena kamu harus memikul beban yang sama seperti Abang. Padahal yang harusnya banting tulang itu Abang, bukan kamu."

Ashana terdiam. Dia hanya mampu menggerjabkan matanya.

"Abang minta tolong, tetap kuat, ya?" Lanjut Aiman.

"Abang baik-baik aja?" Tanya Ashana.

Aiman hanya tersenyum sambil mengangguk kecil. Dia hanya ingin mengungkapkan isi hatinya. Sebab, dia mulai resah dengan keputusannya. Dia takut akan menyakiti banyak hati.

***

Ashana mencuci piring bekas makan malam mereka sembari bergumam pada dirinya sendiri.

"Aku udah berhasil beli sepeda. Sekarang aku harus nabung untuk keperluan tidak terduga. Kira-kira kalau celengan aku buka bulan ini duitnya udah banyak belum ya?"

Ashana terus mengulang pemikiran yang sama hingga piring-piring itu habis tercuci.

"Fatih!! Bisa nggak sih kalo main jauh-jauh. Jangan ganggu orang lagi main."

Ashana menghela napasnya. Kedua adiknya itu tidak bisa jika tidak bertengkar.

"Mana ada adek bayi!! Kamu tuh ganggu aja deh."

Lagi-lagi suara lengkingan Laila memenuhi rumah mereka.

Ashana hanya bisa menghela napas. Dia lebih memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Dia sudah harus mulai mengiris bahan untuk adonan bakwan.

"Kok bisa langsung diam begitu ya?" Gumam Ashana saat adik-adiknya tidak bersuara lagi.

Uwek uwekk

Pandangan Ashana langsung menuju arah keluar dapur. Telinganya baru saja menangkap suara bayi menangis. Dengan segera dia membersihkan tangannya dan keluar dari dapur.

Ketika Hidup Bukan Hanya Untuk Hari ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang