🌃🌃🌃
_______________________________________Ketika jalinan mulai selisih dalam berselisih
_______________________________________🌃🌃🌃
Ashana memandang kosong pada halaman rumah yang mulai dipenuhi rumput tinggi. Kini dia seperti kehilangan semangat hidupnya. Kemelut yang tumpang tindih hadir dalam kisahnya membuat dia tidak lagi berharap lebih. Karena sepertinya kebahagiaan telah pergi menjauh sebab tidak ingin berkawan dengan dirinya.
Dia rapuh, semakin rapuh kala berita tentang kakak laki-lakinya tidak kunjung mendapatkan pencerahan. Terakhir kali, ada yang memberi kabar jika di dekat tempat tinggal Aiman sempat terjadi aksi tembak dari seorang tidak dikenal. Banyak yang lari tunggang langgang menghindari tembakan, ada juga yang berlari tidak menentu arah. Bahkan, ada empat orang yang katanya dibawa pergi. Entah benar ada Aiman diantara orang tersebut atau tidak. Yang pasti, berita itu cukup mengguncang diri Ashana.
"Kak Hana! Fatih coret-coret buku Lala." Adu Laila dengan wajah ditekuk.
"Kakak!!" Panggilnya lagi ketika Ashana hanya terdiam.
Ashana memejamkan matanya. Giginya tanpa dia sadari"Makanya jangan letakkan buku sembarangan. Rapi dikit kenapa sih La. Kakak nggak sanggup harus beresin semua barang di rumah ini. Harusnya kamu ngerti, ringankan beban kakak sedikit." Seru Ashana dengan mata yang tetap menatap lurus ke depan.
Tidak ada jawaban dari Laila. Melainkan hanya decakan kesal akibat dimarahi balik.
"Fatih!! Aku lempar sapu kamu, ya!"
Pekikan Laila itu membuat Ashana berang. Dia dengan segera masuk ke dalam rumah dan bertolak pinggang ketika melihat Laila sudah memegang sapu dan Fatih yang mulai mengerut di pojok ruangan.
"Berani kalian main kekerasan? Merasa hebat main pukul-pukulan, hah?" Gertak Ashana.
Laila segera melempar sapu ke sembarang arah. "Belain aja terus adik kakak! Aku benci kakak sama Fatih!!" Peliknya yang cukup nyaring. Pasti tetangga mereka mendengar perdebatan ini.
Ah! Bahkan mungkin ibunya sedang bersedih di dalam kamar saat mendengar anak-anaknya tidak bisa akur seperti ini.
Ashana melihat Laila melangkah keluar rumah. Gadis kecil itu terlihat menangis.
"Lala!!!" Pekik Ashana. Namun Laila tetap berjalan keluar.
Ashana hanya bisa menghela napasnya. Dia melirik Fatih yang takut-takut menatapnya. Dia tau jika di usia Fatih adalah saat-saat dimana anak itu bertingkah terlalu aktif. Menjadi sebuah kewajaran saat anak itu ingin tahu segala hal didekatnya. Namun, kasus mereka berbeda. Tidak ada cukup banyak orang dewasa yang akan mengerti tingkah itu.
Ashana mendekati Fatih. Dengan wajah sendu dia memegang bahu kecil Fatih.
"Fatih, lain kali harus izin dulu sama kak Lala kalau mau main barang punya kak Lala, ya? Karena nggak semua barang kak Lala bisa dimainkan. Fatih paham, kan?" Bujuk Ashana.
"Fatih cuma mau main, Kak. Tapi kak Lala marah-marah terus sama Fatih." Ujarnya takut.
Ashana menghela napasnya. Dia lelah, amat sangat lelah.
***
Pagi ini, suasana meja makan tampak sunyi senyap. Tidak ada obrolan antara kakak beradik yang sedang menikmati sarapan pagi mereka. Pertengkaran di hari kemarin masih berlanjut hingga hari ini.
Ashana tidak tau harus memulai dari mana untuk bisa mengobrol dengan Laila. Sebab dayanya untuk berbicara juga sedang tidak ada. Dia memutuskan untuk hanya menjalankan pekerjaan sehari-harinya. Mempersiapkan dagangan, membuat sarapan untuk orang rumah, mengurus kebutuhan ibunya di pagi hari, membersihkan dapur dan mengantar Fatih ke taman kanak-kanak.
"Ini uang sakunya." Ucap Ashana pada Laila yang tampak tidak peduli. Anak itu tidak menerima uang dari kakaknya, melainkan hanya melengos pergi.
"Ambil uangnya. Kamu nggak perlu marah sampai nggak mau makan seperti ini." Ucap Ashana lagi.
Dengan wajah merengut Laila mengambil uang sakunya hari ini. Setelah itu dia pergi begitu saja dengan sepeda miliknya.
"Jadi apa kami di masa depan Ya Allah? Kuat kah hamba menjalani hidup ini dengan baik? Akan menjadi seperti apa kami tanpa orang dewasa yang mendampingi?"
Batin Ashana terus berbisik lirih. Dia tanpa sadar menangis dalam diam memikirkan hari-harinya yang kelabu. Hingga satu tangan kecil menggenggam tangannya.
"Kakak, jangan nangis. Nanti Fatih minta maaf sama kak Lala, ya?" Ucap Fatih dengan mata berkaca-kaca.
Ashana langsung mengusap air matanya. Dia tersenyum ke arah adik kecilnya yang bahkan lebih mengerti dirinya.
"Iya, nanti ajak ngobrol kak Lala ya. Di sayang kakaknya, biar kak Lala juga makin sayang sama Fatih."
Fatih menganggukkan kepalanya. Dia kini tersenyum karena melihat kakaknya tersenyum.
Ashana mengusap kepala Fatih dengan sayang. Lalu, Ashana menyuruh adiknya untuk menunggu di depan sembari dia pergi ke kamar ibunya untuk berpamitan.
"Ibu, Hana pergi sekolah dulu, ya. Nanti bu Tina jemput Fatih. Hari ini Hana pulang cepat. Karena abis ujian Hana langsung pulang." Jelasnya pada sang ibu yang dibalas dengan anggukan seadanya dari sang ibu.
Ashana berlalu pergi. Meski ada bagian dari hatinya yang tidak tenang meninggalkan ibunya sendiri, namun dia harus sekolah. Karena jika dia atau adiknya yang lain tidak sekolah demi ibunya, maka ibu mereka akan menangis dalam keadaannya seperti saat ini.
Setelah mengantar sang adik, Ashana lalu pergi ke sekolah. Hari ini dia sedikit terlambat. Jika biasanya dia akan mengayuh santai sepedanya, maka sekarang dia memakai kekuatan penuh. Lalu, dia juga buru-buru meletakkan dagangannya di kantin dan berlari masuk ke dalam ruang ujian. Hari ini, dia akan menghadapi ujian akhir semester sebelum naik ke kelas sebelas.
"Waduh, sabar As. Belum masuk kok." Heboh Diana saat melihat temannya itu ngos-ngosan.
"Nah, itu pengawasnya baru mau jalan kemari." Sahut Imah.
Ashana menoleh ke belakang. Benar saja, dari arah kanan, dua orang pengawas sudah berjalan masuk ke ruangan mereka.
"Hampir aja." Gumam Ashana dengan lega.
Dia segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang ujian. Hari ini otaknya harus cepat dalam menghitung dan menghafal. Sebab ada mata pelajaran matematika dan sejarah yang menunggunya.
"Sebelum ujian, kita peregangan dulu ya. Kepalanya boleh di gerakkan agar tidak kaku saat melaksanakan ujian. Jadi, saat ujian kalian tidak perlu menoleh ke arah kanan atau kiri." Ucapan pengawas di depan sana dibalas oleh kekehan dari beberapa murid. Sebab itu terdengar seperti sindiran untuk yang suka memanggil teman disebelah ketika ujian.
"Maaf maaf aja. Aku pakai mode bodoh amat kali ini. Telinga aku tiba-tiba mampet kemasukan air. Jadi pendengaran kurang jelas."
Ashana menoleh ke arah orang yang sedang berbicara. Dia hanya mengulum senyum. Pasalnya, tidak akan ada yang meminta padanya. Melainkan dia yang meminta kepada orang lain.
"Sekarang kalian boleh berdoa dulu sebelum ujian. Setelah itu, selamat mengerjakan ujian dalam keheningan tanpa suit-suitan. Paham?"
Semua murid serentak mengatakan kata paham. Namun, ya begitulah. Mana mungkin ujian akan setenang yang diharapkan. Pasti akan ada yang memberi kode untuk jawaban.
🌃🌃🌃
Di KBM udah sampai bab 17
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hidup Bukan Hanya Untuk Hari ini
ChickLitIni tentang Ashana Fatina. Si tengah yang harus selalu menjadi penengah. Si ramah yang harus sering mengalah. Si kuat yang tidak boleh penat. Si penumpu yang sayangnya tidak jua memiliki tempat menumpu.