Chapter 7

60 12 1
                                    

🌃🌃🌃
_____________________________________

Angin kecil berlalu pergi, angin besar siap menghampiri
_____________________________________

🌃🌃🌃

Angin mungkin hanya berhembus kemudian berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak berarti. Namun, badai selalu meninggalkan bekas setelah kehadirannya.

Ashana paham dengan benar jika apa yang sedang mereka hadapi saat ini adalah badai yang datang setelah hujan lebat berhasil membuat mereka basah kuyup. Tidak cukup hanya membuat mereka menggigil, kini tambahan datang dari sisa badai yang datang pada hari kemarin. Ashana merasa kesakitan, namun tidak tahu pasti dimana letak sakit itu. Rasanya lelah dan hancur, namun tidak ada bentuk kasat mata yang bisa memperlihatkan bagaimana porak porandanya dia sejauh ini. Jika terlihat, mungkin dia sudah tidak berbentuk.

"Kak, su ara ba yi si apa itu?"

Pertanyaan terbata-bata dari ibunya membuat Ashana tidak tahu untuk memberikan alasan lain lagi. Sedari kemarin ibunya terus bertanya tentang bayi yang kerap menangis itu padanya. Tidak mungkin dia mengatakan dengan gamblang jika itu adalah suara cucunya yang ternyata sudah ada di dunia ini sebulan yang lalu.

"Ha na..."

Ashana hanya bisa memalingkan kepalanya ke arah lain. Karena saat ini dia merasa matanya hendak meluruhkan air mata sangking frustasinya dia dengan kemelut yang tidak berkesudahan di dalam keluarganya.

Dia takut mengatakan kenyataan pada ibunya. Dengan kondisi ibunya yang sudah lemah seperti saat ini, kenyataan tentang anak Aiman bukanlah sesuatu yang bisa diumbar dengan mudah. Ada resiko besar yang menanti mereka.

"Ibu, Hana ke belakang dulu, ya. Mungkin bayinya mau diambil sama orang tuanya." Ujar Ashana yang sepenuhnya bohong belaka.

Dia dengan segera pergi ke dalam kamar Aiman. Di sana, dia melihat Aiman sedang susah payah mendiamkan anaknya yang terus menangis.

"Kenapa dengan Amanda, Bang?" Tanya Ashana.

Aiman dengan wajah lelahnya menggelengkan kepala. Dia tidak mengerti tentang mengurus bayi. Meskipun memiliki tiga orang adik, dia tidak pernah terjun langsung merawat ketiganya. Karena ibu mereka cukup telaten merawat anak-anaknya tanpa bantuan orang lain.

"Sini, biar Hana yang gendong."

Senyap. Suara tangisan si bayi langsung hilang ketika sampai dalam dekapan Ashana.

"Dia selalu diam saat kamu peluk, Han." Gumam Aiman.

"Itu karena dia rindu ibunya." Tukas Ashana sedikit menyentil perasaan Aiman.

"Abang sedang berusaha menemukannya. Jika senior Abang berhasil mendapatkan kabar, maka besok Abang bisa mencari Nita."

Ashana menghela napasnya. Semoga saja kakak laki-lakinya masih bisa memperbaiki kerusakan parah di dalam hubungan itu.

***

"Hana!!"

Ashana yang sedang mencuci piring terperanjat karena terkejut mendengar pekikan Aiman.

"Jangan berisik, Bang. Nanti Amanda bangun." Geram Ashana. Apa kakaknya itu tidak tau bagaimana sulitnya menidurkan bayi.

"Han, Abang berhasil mencari tau keberadaan Nita. Katanya sekarang Nita lagi kuliah di Amerika. Dan kamu tau? Abang juga dapat kerja di sana."

Ashana sejenak terdiam mencerna ucapan Aiman.

"Kerja apa, Bang?"

"Masih pekerjaan yang sama seperti yang ditawarkan waktu itu. Cuma kata senior Abang, kali ini lowongan yang tersedia ada di Amerika."

Ketika Hidup Bukan Hanya Untuk Hari ini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang