Bab 19 Makan siang sebagai ajang pendekatan

2.1K 154 9
                                    

Tanpa menunggu bawahan yang senantiasa selalu membuka pintu mobil untuknya kali ini ia membuka dengan keras tanpa memikirkan kerusakan yang berakibat fatal pada mobilnya. Dengan setia Sam mengikuti tuannya sembari melirik ponselnya yang menunjukkan pesan dari Hari.

Arseano memelankan langkah kakinya saat menemukan putrinya terisak di gendongan adiknya, Tora. Hatinya ikut merasakan sakit mendengar tangis pilu dari anak semata wayangnya. Niami dan Jothen serempak menoleh merasakan kehadiran Sean yang berjalan mendekat.

"Dari tadi tidak berhenti menangis." lirih Niami ketika putra pertamanya mendekat.

"Tenangkan putrimu dulu." suruh Jothen pada putranya.

Tora menatap sendu mendapati raut sedih kakaknya. "Dedek, ada papa itu."

Zea yang mesih terisak di pundak Tora segera menoleh, bibirnya mencebik dengan tangis yang semakin deras."P-papa..."

Sean segara mengambil alih gendongan Zea, mengecup pelipis putrinya yang tangisnya semakin keras melihat sang ayah datang. "Cup cup...sudah nagisnya, nak" Sean menunduk mengusap pipi tembam putrinya yang sudah memerah layaknya tomat akibat terlalu lama menangis.

Sedikit demi sedikit tangis Zee mereda walaupun giginya masih terasa amat sakit.

"Dokter Sena sudah papa panggil kesini, adek sebar dulu ya." Sean mendudukkan diri, diikuti Niami yang duduk disampingnya sembari membawa baskom dan handuk kecil yang sudah diisi es batu.

"Di kompres pakai ini dulu ya, mau?" Zea melirik apa yang neneknya genggam.

"Itu apa?" gumam Zee yang masih bersembunyi di dada papanya.

"Itu es batu, supaya giginya tidak terlalu nyeri, adek coba dulu nak selagi nunggu dokter datang."

Zea luluh, sedikit ringisan merasakan dinginnya handuk tersebut yang bergesekan dengan pipinya.

"Selamat Siang tuan." sapaan dari sesosok yang mereka tunggu tanpa saat membuat helaan nafas lega terdengar.

Dokter Sena segera mendekat menyadari seruan dari seniornya. "Permisi." ucap Dokter Sena sopan melewati sofa yang diduduki Tora.

"Ah silahkan saja dokter."

"Halo, Zea!" Dokter Sena tak tersinggung saat tak ada kata yang keluar dari bibir Zea.

"Boleh duduk hadap dokter Sena dulu?" tanya Sena.

"Diobatin dulu ya sama dokter Sena?" ucap Arsean.

Zea merengek kecil, "mau sama papa." gumam Zea parau terendam di dada Arsean.

"Papa disini juga temani adek."

Dokter Sena mulai memeriksa Zea yang tidur dipaha sang ayah dengan genggaman erat di jari telunjuk papanya.

Sepuluh menit kemudian, Sena melepas sarung tangannya setelah sebelumnya menaruh alat-alat kedokteran yang sengaja di bawanya.

"Bagaimana, dok?" tanya Jothen tak sabar.

"Sudah saya berikam obat agar Zea nya merasa tidak kesakitan, seperti yang sudah saya katakan sebaiknya kita melakukan pencabutan gigi menghindari hal layaknya hari ini terjadi kembali." jelas Sena.

"Bisa dimajukan jadwal yang sudah assistant saya buat?" tanya Sean sembari mengelus dahi Zea yang menutup mata masih berbantalan paha papanya.

"Saya sarankan lebih baik tetap di jadwal yang awal, dok. Sementara sambil menunggu gigi Zea yang kembali normal takutnya jika dicabut dalam keadaan masih sakit malah nantinya tidak  ber-efek baik di kemudian hari." Sean mengangguk.

A Piece Of ZEA'S MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang