Bab 15: Perempuan Glacier Pertama

13 5 0
                                    

AKU langsung memegang bulu Inso dan melihat ke depan. Mataku langsung disambut oleh banyak manusia yang berlalu-lalang. Manusia-manusia itu memiliki dua jenis; laki-laki dan perempuan. Aku melihat yang perempuan memakai baju khas Suku Daun dengan baju lengan pendek dan rok sebetis. Warna baju mereka pun kebanyakan abu-abu, cokelat, hijau tua, dan hijau daun, dan kebanyakan dari mereka--khususnya yang perempuan--memiliki rambut pendek sebahu ataupun rambut panjang sepinggang.

Betul apa kata Ibu Kaie, perempuan di Suku Daun hanya diizinkan memanjangkan rambut sampai pinggang. Untuk yang berjenis kelamin laki-laki memakai baju yang sama persis seperti Kaie; baju kulit dengan lengan pendek. Mungkin yang membedakan adalah Kaie juga memakai baju lengan pendek, hanya saja bajunya dilapisi lagi dengan baju bulu yang mana bagian penutup kepalanya terbuat dari bulu serigala. Ibu Kaie sendiri yang memberitahukan hal itu kepadaku.

Semuanya kompak menatap ke arah kami setelah Kaie mengintruksikan kepada Inso untuk menstabilkan langkah kaki harimaunya.

Aku gugup. Jujur, aku tidak pernah ditatap sebegini intensnya oleh banyak manusia. Mungkin dilihat secara serentak oleh keluarga pernah, saat aku tidak sengaja menjatuhkan satu keranjang jamur, tapi ini ... berbeda. Berbeda sekali.

Tatapan mereka macam-macam, ada yang menatapku dengan kagum, mengernyit, dan bahkan sambil berbisik. Selain itu, dari atas juga, orang-orang mulai menyebulkan kepala mereka lewat jendela atau beranda rumah, dan setelah itu intens menatapku.

"Kaie, kenapa mereka semuanya melihatku?" tanyaku, dengan berbisik. Kaie membalas, "itu karena mereka baru pertama kali melihatmu, Nila. Kami adalah suku yang sering berkomunikasi dan berbaur dengan suku lain. Hanya saja, kami sangat jarang berbaur dengan Suku Glacier. Bisa jadi, mereka melihatmu karena baru pertama kali melihat gadis dari Suku Glacier."

"Oh, begitu." Baiklah, itu masuk akal. Suku Glacier adalah suku yang tertutup, dan aku pun baru pertama kali masuk ke teritori suku lain. Jadi, wajar jika mereka tidak tahu perihal diriku.

"Hei, Kaie! Gadis yang sangat cantik sekali!" Tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya kurus berteriak. Aku dan Kaie refleks menoleh. Kaie langsung mengangkat sebelah tangannya kemudian mengangguk sambil tersenyum, sedangkan aku diam tidak mengerti.

"Oi! Kaie! Kau dapat dari mana gadis cantik itu?"

"Kami tidak pernah melihat gadis itu, siapa dia?"

"Dari mana kau memungut gadis itu, Anak Muda?"

Kaie tidak menjawab semua pertanyaan itu, yang dia lakukan hanyalah tersenyum dan mengangguk sambil mengangkat satu tangan.

Semua pertanyaan yang mereka lontarkan membuatku tidak nyaman. Aku betul-betul ingin cepat pergi dari sini. "Sebelum pergi, kita pamit ke Tetua Adat dulu ya," kata Kaie. Aku mengangguk.

Beberapa saat kemudian, akhirnya kami sampai di rumah Tetua Adat Yuei. Semua orang yang mulanya hanya berlalu-lalang, sontak berkumpul. Aku berpikir, jangan-jangan mereka ingin mengikuti kami.

Kaie turun dari tubuh Inso dan aku pun mengikutinya. Kaie sendiri yang membantuku turun. Setelah kami berdua turun, tiba-tiba saja pintu rumah Tetua Adat Yuei terbuka. Dia tersenyum seraya menatapku dan juga Kaie. Kaie menunduk, memberi salam penghormatan, dan aku pun juga memberikan salam khas Suku Glacier.

Setelah memberi salam, suasana yang ada di sekeliling tiba-tiba saja menjadi riuh dan berisik. Semua orang mulai berbisik-bisik perihal aku yang memberi hormat kepada Tetua Adat Yuei dengan cara yang berbeda, dan itu ... membuatku jadi tambah tidak nyaman.

"Menunduklah," titah Tetua Adat. Aku dan Kaie menunduk. Aku dengar Tetua Adat Yuei mulai melantunkan doa dan pujian yang diperuntukan untuk Dewa Andihita--aku tahu karena aku samar mendengar nama Dewa Andihita disebut. Dia juga dengan sesekali menyipratkan air garam ke arah kami. Aku tahu itu air garam karena airnya tidak sengaja menyentuh bibirku. Aku merasakannya, dan rasanya asin.

GLACIER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang