Bab 27: Mimpi Melihat Wanita dan Pria

10 3 0
                                    

HAL pertama yang kulihat adalah kegelapan. Terus terang, aku tidak tahu ini di mana, yang jelas, begitu aku membuka mata, aku langsung berada di tempat ini. Di ruang hampa yang gelap, tanpa penerangan apa pun. Aku mengira, saat ini aku sedang berada di kamar, tidur bersama Kak Tallu dan Soan di masing-masing kasur lantai dan selimut hangat. Namun, aku sadar setelah tahu kalau aku bangun tanpa ditemani selimut dan kasur.

Aku menginjak tanah yang kering dengan balutan sepatu dan juga baju tradisional khas Suku Glacier. Jika memang aku berada di kamar pun, saat ini, aku pasti sudah mengenakan baju tidur panjang berwarna putih, dan rambutku pasti digerai, tidak terikat dengan kepangan seperti ini.

Setelah tahu aku tidak berada di rumah, aku pun memutuskan untuk berjalan saja, mencari jalan pulang. Aku pun sesekali memanggil nama Kak Tallu, Kaie, Kakek Ebe, bahkan Vail, tapi sayangnya tidak ada seorang pun yang menyahut teriakanku padahal aku sudah benar-benar panik dan takut.

Ditengah kepanikan itu, aku melihat secercah cahaya dari kejauhan. Aku langsung semringah, lantas berlari dengan riang ke arah cahaya itu dengan harapan aku bisa bertemu dengan Kak Tallu dan yang lain.

Namun ekspektasiku pupus kala kakiku bersentuhan dengan salju dan mataku bertemu dengan pepohonan yang sudah meranggas dan bersalju. Aku berbalik, dan terperangah sejenak setelah tahu aku rupanya baru saja keluar dari sebuah gua. Aku refleks menghela napas, membuat uap yang keluar dari mulutku berubah menjadi asap tipis karena suhu yang dingin.
   
Di tengah rasa lega dan bingung ini, aku mendengar seseorang menangis. Seorang ... wanita. Aku agak terkejut dengan suaranya mengingat aku sendirian di tempat ini. kalau ada suara tangisan, itu artinya ... aku tidak sendirian!

Aku langsung menoleh ke sana-kemari, hendak mencari tahu di mana sumber suara itu. Jika aku sudah menemukannya, aku berjanji akan mengajaknya pulang dan mungkin dia juga tahu jalan pulang ke rumah Kakek Ebe. Mungkin.

Aku bergeming lalu memejamkan mata. Berusaha menebak-nebak di mana suara itu berasal. Aku pun berkonsentrasi pada indera pendengaranku supaya aku bisa mendengar suaranya dengan lebih jelas. Setelah dirasa jelas, aku pun berlari ke sebelah kanan. Aku mengambil jalur kanan, karena aku yakin suara itu ada di sana.

Aku berlari kecil, mencoba untuk tidak tergelincir di atas salju karena yang kutahu tergelincir di salju itu bukan sesuatu yang lucu.

Terima kasih kepada Ozh, Bua, dan Lan--anak-anaknya Qeon--yang telah menertawaiku dengan suara beruang mereka. Berkat mereka, satu rumah jadi menertawaiku juga. Alasan, aku dulu berlari di atas salju karena Soan menjatuhkan mainannya, dan dia saat itu merengek ingin mainannya kembali. Karena Kak Tallu sedang kerepotan, akhirnya akulah yang mesti mengambil mainannya dari tumpukan salju. Aku berlari saat itu. Namun tidak kusangka, larianku malah membuatku terjerembab ke dalam salju.

Para beruang tertawa, Kakek Ebe, Vail, dan Kak Tallu tertawa. Bahkan Soan yang tadinya merengek dan hampir menangis pun jadi ikut tertawa. Semuanya tertawa, sementara aku menderita di dalam salju dengan sesekali berteriak meminta tolong. Beruntung Kaie datang menolongku saat itu, tapi sama seperti orang rumah, dia cengengesan dan berusaha menahan tawa.

Kembali ke kondisi saat ini. Semakin aku mendekat, suara tangisan itu semakin jelas. Aku sudah tahu apa yang akan kulakukan setelahnya; mendekati wanita itu, bertanya apa yang terjadi dan mengapa dia menangis, membantunya berhenti menangis, dan setelah itu mengantarkannya pulang. Kalau aku sanggup, aku akan melakukan beberapa hal yang sudah kusebutkan tadi.

Setelah beberapa lama, akhirnya aku sampai di sumber suara. Aku hendak membuka mulut, hendak bertanya padanya perihal apa yang terjadi. Namun tubuhku seketika memutarkan diri dan memutuskan untuk menyembunyikan dirinya di balik pohon.

GLACIER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang