Bab 16: Berakhirnya Suku Glacier

10 4 0
                                    

SUKU Glacier ...,

Terbakar.

"Ibu! Bibi! Nenek! Kakak! Dapna! Ria!"

Aku langsung turun dari harimau lantas berlari ke arah api.

Aku memicingkan mata. Api melahap seluruh Glacier, membuatku dapat melihat dengan samar bahwa ada banyak sekali orang di sana. Berlarian dengan tubuh terbakar dan terkurung di dalam api.

Kaie menyusulku, menarik tanganku. "Jangan Nila! Apa yang kau lakukan?!"

"Lepaskan aku Kaie!" Aku berteriak padanya. Air mataku sudah keluar. "Keluargaku ada di sana!" jeritku.

Aku berlari lagi, kali ini dengan sekuat tenaga, nekat masuk ke dalam.
Kaie memperkuat genggaman tangannya padaku, bahkan dia sampai memeluk pinggangku dari belakang untuk menjauhkanku dari api. Aku meronta, bersikeras ingin mendekati api, tapi Kaie sudah menarik tubuhku meskipun aku bergerak sana-sini dengan berteriak. "Jangan ke sana Nila! Kalau kau pergi ke sana, kau juga akan terbakar!"

"Aku tidak peduli!" Seruku. "Keluargaku ada di sana!" Sekali lagi aku mengatakan hal ini dengan tegas.

Aku tidak mau berdiam diri dan menunggu apinya padam. Aku ingin menyelamatkan mereka semua!
Apakah dia tidak lihat? Banyak orang di sana yang terjebak di dalam dan banyak dari mereka yang terbakar. Jika aku menolong mereka, ada kemungkinan mereka akan selamat 'kan? Meskipun mereka memiliki luka bakar sekalipun?

"Jangan Nila!" Kaie mencegahku lagi. "Itu bukan api biasa. Kau tidak akan bisa melewatinya!" serunya. Aku sebal dengannya karena dia terus mencegahku. Karena itu, aku pun langsung menginjak kakinya dan melancarkan pukulan beserta tendangan ke perutnya.

Berhasil.

Dia tidak pingsan, hanya jatuh ke tanah sambil meringis dengan memegangi perutnya.

Kesempatanku.

Aku langsung berlari ke arah api. Orang-orang yang ada di sana tumbang satu-persatu, berhenti menjerit. Meskipun begitu, aku tetap berlari ke sana. Jika mereka meninggal pun, setidaknya tubuh mereka harus ada. Entah hangus atau utuh, jasad mereka harus tetap ada.

Ketika aku hendak masuk ke dalam api, tiba-tiba saja petir menyambar. Aku langsung menjerit dan jongkok dengan menutup kedua telinga dan kedua mata. Tubuhku bergetar. Aku menoleh ke belakang. Di belakang, Kaie masih terduduk dengan memegangi perutnya. Dia terengah-engah, dengan pedang yang mengarah ke arahku.

"Jangan masuk, Nila!"

Satu Sambaran petir melesat cepat. Aku menghindar, lantas jatuh ke arah lain dengan gemetar.

Kaie ... menyerangku?

"Jangan mendekati api!" Kaie berseru marah dan mengeluarkan petir lagi, tapi kali ini dia mengarahkan pedangnya ke langit.

Seketika bumi langsung di hujani oleh petir. Aku sendiri menjerit dan berjongkok diantara petir yang menyambar. Ada satu petir yang mengenai pohon sampai pohon itu tumbang. Aku menatap dengan awas lantas menghindar agar pohon itu tidak mengenaiku.

Malangnya ada petir di depan mataku membuatku menjerit dan jadi tidak bisa ke mana-mana. Aku berhenti di tempat sampai akhirnya ..., pohon yang ada di atasku, sukses menimpa diriku ....

-

Gelap. Aku tidak bisa melihat apa pun selain kegelapan. Tubuhku kaku, tidak bisa digerakkan. Aku mencoba untuk membuka mataku, tapi tidak berhasil.

Di sini terasa dingin. Mendadak aku membayangkan diriku ada di sebuah ruang hampa, tanpa tanah dan udara, tapi meskipun begitu, aku merasa nadiku ... sudah tidak berdenyut.

GLACIER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang