Bab 26: Budaya Yang Harus Dijaga

11 4 0
                                    

AKU menatap sup ikan itu dengan lesu.

Entah kenapa aku merasa bersyukur karena Kak Tallu membuat sup ikan malam ini. Aku juga membantunya, ditambah, Vail yang baru saja kembali dari Suku Ameer, membawa empat buah ikan besar yang katanya pemberian dari tetangganya. Ikan yang kupakai latihan tadi pun, sudah masuk ke dalam menu.

Ikan yang malang, tapi aku bersyukur sekarang ikan itu sudah ada di perut Kaie.

“Kaie, bagaimana berburunya?” Vail bertanya setelah dia menyeruput kuah sup. Kaie juga baru saja menelan makanannya, lalu menjawab, “aku mendapat seekor kancil, dan besok kita bisa makan dengan itu.”

“Wah, benarkah? Hebat sekali kau,” puji Vail. Kaie tertawa. “Terima kasih, aku melihat rusa besar di hutan. Awalnya aku hendak menangkapnya, tapi karena ia setinggi atap rumah ini, aku urung melakukannya. Ia sedang bersama kawanannya,” cerita Kaie.

Kakek Ebe menimpali, “rusa besar memang agak sulit ditangkap, khususnya yang jantan. Butuh beberapa orang untuk bisa menangkapnya, dan resikonya pun sangat tinggi.”

“Ya, itulah kenapa aku tidak jadi menangkapnya. Tanduknya pun sangat besar. Aku bisa saja menggunakan kekuatan petir, tapi aku tidak ingin hewan lain yang ada di dekatku menjauh.”

“Memangnya, ada hewan lain yang ada di dekatmu?” Sekarang giliran Kak Tallu yang bertanya. Meski sekarang dia sedang sibuk memberi makan Soan, aku yakin telinganya berhasil menangkap sebulir topik yang dibicarakan para pria.

Aku diam sambil menghirup sup ketika mereka membicarakan tentang hewan buruan. Aku masih memikirkan hasil latihan tadi. Kak Tallu bilang, melatih kekuatan penyegel butuh waktu dan tenaga ekstra agar kekuatannya bisa sempurna, dan mungkin kantung yang ada dalam tubuhku belum mampu dirasuki oleh kekuatan yang aslinya berasal dari Dewi itu.

Kak Tallu bilang itu wajar, tapi rasanya aku ingin cepat-cepat menguasainya.

“Nila, keningmu kenapa?” Aku terbangun dari pikiranku ketika Kaie bertanya. Aku refleks merapikan poniku dan kembali menghirup sup. Aku lupa menutup keningku karena sebelum dia kembali, aku sempat menyentuh keningku dan merasakan perih di kulit. Ini semua gara-gara ikan itu.

“Ceritanya panjang,” balasku, tak mau bercerita lebih lanjut karena aku merasa akan sangat memalukan jika Kaie mengetahuinya.

Kak Tallu terkekeh, kemudian menceritakan cerita lengkapnya ke semua orang yang ada di rumah ini.
Aku terkejut, dan malu setengah mati. Cerita yang hendak aku sembunyikan rapat-rapat, malah dibongkar oleh Kakakku sendiri.

Semua orang tertawa setelah mendengar ceritanya, sementara aku menggerutu dan meminta Kak Tallu untuk menghentikan ceritanya. “Maaf, tapi itu lucu sekali,” tawanya.

Mukaku merah, dan aku malah semakin malu. Aku bahkan menggoyangkan tubuh Kak Tallu sampai bubur yang dia pegang nyaris tumpah.

-

Malamnya setelah mencuci piring, aku dan Kak Tallu bergegas pergi ke kamar untuk tidur. Ketika aku berjalan ke kamar, aku iseng menoleh ke sebelah kiri dan mendapati Kaie sedang sibuk membaca beberapa perkamen yang dibungkus dengan karung kecil usang yang entah dia dapat dari mana. Aku penasaran, dan dengan segera menghampiri kamarnya lantas mengetuk pintu.

Kaie berjengit dan menoleh ke arahku. Aku mematung, mulai merasa bersalah karena mengejutkannya.

“Boleh ... aku masuk?” tanyaku. Kaie mengangguk. Aku menghampirinya lantas duduk di dekatnya. “Maaf sudah mengejutkanmu, kau memegang sebuah perkamen, aku jadi penasaran, makanya aku kemari,” jelasku.

Kaie menyahut tanpa menoleh. “Tidak apa-apa.”

“Kau dapat ini dari mana?”

“Dari Suku Daun. Sebelum pergi berburu, aku menyempatkan diri ke sana bersama Inso. Aku hanya ingin berziarah sebentar dan mendoakan warga Suku Daun, tapi aku kepikiran sebuah rumor tentang Tetua Adat Yuei.”

“Tetua Adat Yuei? Memang ada apa dengannya?” Aku mengangkat sebelah alis.

“Warga Suku Daun sering diam-diam membicarakannya. Menurut rumor yang beredar, Tetua Adat Yuei sering mengubur sesuatu. Kami tidak pernah tahu dan tidak pernah memiliki niatan untuk mencari tahu karena kami percaya kalau Tetua Adat Yuei adalah orang yang baik. Dia memimpin suku kami dengan sangat baik sampai kami tidak menemukan celah kesalahannya, tapi ...,” Kaie menjeda sejenak sambil menelan ludahnya. “Aku kemudian menggali tanah rumahnya dan menemukan ini.” Kaie menunjukan perkamennya. Isinya gambar, tulisan, dan bahasa yang tidak aku mengerti.

“Kebanyakan isinya tentang bahan-bahan makanan yang pertama kali dibuat oleh Suku Daun pada zaman dulu, catatan tentang kebudayaan, tarian, bahkan tentang jurus berpedang yang belum pernah kudengar, bahkan Ketua Penjaga sekalipun tidak pernah mengajarinya pada kami.” Dan pada akhirnya Kaie sendiri yang menjelaskannya meski tidak kutanyai.

Namun sudahlah, setidaknya sekarang aku tahu apa isi dari perkamen itu tanpa repot-repot harus bertanya.

“Kalau begitu, simpan saja perkamen itu dengan baik,” saranku, tiba-tiba. Kaie menoleh saat dia sibuk menatap perkamennya. Aku melanjutkan, “perkamen itu adalah satu-satunya harta karunmu sekarang, apalagi itu adalah peninggalan Tetua Adat. Karena kau adalah satu-satunya warga Suku Daun yang selamat, jadi lebih baik kau menyimpan dan melestarikannya.”

“Melestarikannya, ya ...?” Kaie merespon dengan sedikit ragu dan menatap perkamen itu dalam. “Aku tidak yakin apakah aku bisa menjaga barang peninggalan Suku Daun ini dengan baik atau tidak.”

“Pasti bisa, kau ‘kan warga Suku Daun pertama yang menolongku,” balasku, optimis. Kaie menoleh lagi, lalu aku melanjutkan, “perkamen-perkamen ini adalah peninggalan nenek moyangmu. Kau harus menjaganya dengan baik. Jika ingin ini tetap aman dan terus diingat, kau harus memberikannya pada anak-cucumu nanti untuk tetap dijaga—meski sebagai gantinya, kau sendiri yang harus bercerita kalau ini adalah peninggalan nenek moyang kalian pada zaman dulu.”

“Anak ... cucu ...?”

“Iya, aku saat ini sedang mempelajari kekuatan penyegel, dan apabila aku sudah memiliki seorang putri, aku berencana akan mengajarinya. Aku dan Kak Tallu tidak seberuntung dirimu yang memiliki benda peninggalan warga Suku Daun, tapi ... kami masih beruntung memiliki kekuatan yang dianugrahkan oleh Dewi kepada kami,” kataku lagi. Aku kemudian mengubah posisi dudukku seraya menghadap Kaie, dan setelah dirasa nyaman, barulah aku melanjutkan, “jadi, bisa kau ceritakan tentang budayamu?”

“Tentang budayaku?” Kaie bertanya tak yakin. Aku mengangguk. “Iya, saat di Suku Daun, aku tidak sempat menanyakan lebih banyak hal tentang budayamu karena aku gugup, yang kutanyakan saat itu hanyalah beberapa kosakata yang tidak aku pahami,” jelasku, agak malu-malu.

“Jadi, bisa tolong ceritakan?” pintaku. Aku lihat mata Kaie berair. Aku tidak tahu apakah dia betul-betul ingin menangis atau tidak, tapi kulihat dia mengubah mimik wajahnya menjadi lembut setelah beberapa saat, bahkan, lengkungan senang pun terlihat dari sana. “Baiklah,” sahutnya, pada akhirnya.    

Kaie membuka mulut, menceritakan beberapa kisah dan juga sejarah Suku Daun. Aku mendengarnya dengan khidmat dan juga tatapan mata yang tepat ke arah matanya. Aku bahkan mendekat ke arahnya karena saking seru cerita yang dia bawakan.

Disaat dia sedang menceritakan beberapa kisah dan sejarah, di situlah aku menyadari sesuatu.  

Aku suka suara Kaie dan juga wawasannya yang luas.

GLACIER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang