Bab 30: Siluman di Tempat Ziarah

10 3 0
                                    

SUBUH, sebelum Kak Tallu bangun, aku langsung pergi dari rumah dengan menaiki Ozh. Aku sempat bertengkar dengan Qeon hanya karena aku hendak meminjam anaknya lagi untuk keluar.

Qeon beranggapan kalau anak mereka masih kecil, belum boleh pergi keluar apalagi untuk berpetualang. Aku berusaha meyakinkan beruang itu kalau keadaan di luar sedang baik-baik saja.

Oke, pertengkaran ini terdengar sangat konyol, tapi itulah kenyataannya. Aku bertengkar dengan Qeon, tapi setelah beberapa saat, barulah pertengkaran itu pun berakhir dan aku pun membawa Ozh pergi bersamaku.

Saat itu, langitnya masih berwarna biru gelap dengan campuran kuning emas dan oranye di ufuk timur, menandakan beberapa saat lagi sang matahari hendak keluar dari sana.

Di tengah hutan bersalju dan di tengah hamparan salju tebal, Ozh terus berlari, mengikuti setiap instruksi yang aku keluarkan padanya. Hembusan angin dingin sesekali menerpa rambut dan wajah, tapi hal itu tidak membuatku gentar karena ada destinasi yang ingin aku tuju. Ya, pemakaman Sie.

Setiap tiga puluh hari sekali, aku selalu pergi berziarah ke pamakaman Sie bersama Kak Tallu. Selain berziarah, kami juga kadang mengenang memori-memori manis sambil berkeliling teritori Suku Glacier. Namun terkadang, kami juga membayangkan dan membicarakan tentang tempat yang kami pijaki, misalnya wilayah teritori sebelah timur merupakan kebun jeruk milik Bibi Jabne.

Namun sekarang aku memutuskan untuk pergi ke pemakaman sendirian karena aku ingin. Ya, hanya ingin saja. Aku merasa egois karena ingin pergi ke teritori Suku Glacier sendirian, belum lagi aku tidak bisa melupakan kejadian kemarin.

Meski sekarang Kaie baik-baik saja, aku tidak yakin apakah aku bisa menguasai kekuatan ini atau tidak. Apakah kantung yang ada pada diriku masih belum besar sampai kekuatan itu masih belum menampungnya? Entahlah. Yang jelas, aku ingin menjauh dari orang-orang untuk sementara waktu, khususnya Kaie.

Aku menggebahkan Ozh lagi, menyuruhnya untuk berlari lebih cepat. Barulah beberapa saat kemudian matahari pun dengan sedikit malu-malu mulai menampakan diri. Langit yang awalnya berwarna biru tua perlahan-lahan berubah menjadi biru muda dengan campuran kilau kuning kemerahan. Selain itu, nyala sinarnya juga membuatku merasa sedikit lebih hangat, dan salju yang ada di sekeliling pun seolah-olah menyambut sinarnya disertai es yang memasukan cahaya ke dalam dirinya lalu memantulkannya.   

Entah kenapa aku merasa kalau hari ini terlalu cerah untuk pergi ke pemakaman. Namun karena sudah terlanjur, aku teruskan saja. Toh, sebentar lagi mau sampai.

-

Matahari pun sudah menampakan dirinya, sinarnya sekarang sudah menerangi pelosok Teritori Suku Glacier.

Aku lalu turun dari tubuh Ozh dan memberinya satu ikan bakar utuh. Aku beruntung, kemarin meminta Kak Tallu untuk membakar ikan hasil tangkapanku. Kaie tidak memakannya--entah kenapa--mungkin karena kondisiku yang cengeng, dia jadi tidak meminta ikannya.

Aku awalnya hendak memakainya lagi sebagai media latihan, tapi karena aku berencana untuk pergi ke Teritori Suku Glacier sendirian, jadi aku memutuskan untuk menggunakannya sebagai upah, lebih tepatnya, sebagai sarana terima kasihku kepada Ozh.

Aku kemudian menghampiri kuburan Sie, lalu berjongkok dan meletakan buah-buahan kering sebagai pemberianku. Seharusnya, aku membawa bunga, tapi karena bunga sangat sukar dicari di musim dingin, jadi aku membawa buah-buahan kering saja.

Setelah meletakannya di atas batu—yang merupakan nisan Sie—aku pun menangkup kedua tangan. Berdoa dalam hati dan berharap kepada Sang Dewi agar Sie di tempatkan di surga yang hangat.

Ketika aku berdoa, tiba-tiba aku dengar Ozh menggeram. Aku mengamini doaku dan dengan segera bangun, lalu menghampiri Ozh.
“Ozh, kenapa—ASTAGA!”

Aku langsung mengambil anak panah lantas memanah siluman berkepala manusia itu. Aku beruntung sedari awal, sudah membekalkan diri dengan busur dan panah.

Sialnya seranganku meleset. Ular berkepala manusia itu merayap cepat ke arahku. Tanganku kembali terulur ke belakang, hendak mengambil anak panah lagi. Namun sesuatu yang bubuk dan halus seketika menghantam wajahku, membuatku tersentak sekaligus refleks menutup mata.

Aku mundur karenanya, dan langsung mengusap wajahku untuk menyingkirkan partikel debu yang menempel.

Setelah dirasa bersih, aku pun kembali membuka mata, dan aku terkejut bukan main setelah tahu kalau di sekelilingku sekarang berubah menjadi hitam.

Ya, semuanya hitam. benar-benar hitam. Saking hitamnya, aku jadi tidak bisa melihat apa pun. Bahkan aku tidak bisa merasakan hawa dingin maupun salju yang ada di bawah kakiku. Aku panik.

Aku lantas menoleh ke sana-kemari dengan cemas. Aku tidak tahu di mana ini, yang jelas, sebelum aku berada di sini, aku sudah bersama Ozh.

“Ozh!” 

Aku memutuskan untuk memanggil beruang itu, berharap panggilan manusiaku sampai padanya. Namun sayangnya, aku tidak mendengar sahutan berupa auman seekor beruang ataupun geraman, dan hal itu membuatku jadi tambah cemas dan panik.

“Ozh!”

Tiba-tiba saja angin berhembus kencang. Membuat rambut beserta bajuku berhembus mengikuti arusnya.

Aku menutup mataku dengan lengan kala angin itu berhembus membawa partikel debu yang lain. Ya, aku mengatakan itu karena aku merasa kalau wajahku mulai bersentuhan dengan debu, karena itulah aku menutup wajahku.

Namun dari balik tangan ini, aku samar melihat bagaimana ruangan gelap ini berubah menjadi sedikit lebih terang dengan pemandangan pepohonan dedaunnya yang luruh, pemandangan musim gugur.

Setelah dirasa tempat ini sudah berubah total, aku pun menjatuhkan tangan yang semula melindungi wajahku, dan membiarkan diri menerawang sekaligus mengobservasi sekeliling. Aku pun bertanya-tanya dalam hati.

Ini ... di mana?

"Bua, berhenti!"

Aku tersentak.

Aku melihat dari kejauhan, seorang gadis sedang menyapu halaman rumahnya. Ditengah pekerjaannya, seekor beruang pun mengganggunya dan berguling di atas dedaunan gugur yang sudah dia kumpulkan dengan susah payah.

Aku membesarkan mata.

Gadis itu ... aku.

Aku mendekat ke arah diriku sendiri yang sedang sibuk menyapu halaman rumah. Di beranda rumah, aku melihat Vail, Kakek Ebe, Kak Tallu, dan Kaie sedang menertawakan aku yang ada di sana, yang sedang sibuk memarahi Bua. Tak hanya itu, di sana aku melihat beruang lain—Qeon, Lan, dan Ozh—berguling di atas dedaunan membuat aku yang ada di sana marah besar.

Kak Tallu juga ikut tertawa. Namun tak lama kemudian dia masuk ke dalam rumah sambil menggendong Soan. Soan saat itu masih berumur beberapa bulan. Hanya bisa berbaring dan belum bisa berdiri dan merangkak seperti sekarang.

Hal yang kulihat barusan seketika melebur ... menjadi abu yang berterbangan. Aku kebingungan. Ada apa ini?

Di mana aku?

Aku melihat ke sana-kemari dengan berjalan sesekali. Semuanya ... semuanya kembali menjadi hitam. Aku lagi-lagi tidak bisa melihat apa pun kecuali kegelapan.
Di tengah kegelapan yang menakutkan inilah, aku pun kembali memanggil beruangku.

"Ozh!" Sama seperti panggilan sebelumnya, tidak ada geraman ataupun auman beruang yang memungkinkan kalau panggilanku terbalas.

"Ozh!" Aku memanggil lagi, dan tidak ada jawaban ... sama sekali.

"O—"

"Dewi! Kau tidak bisa melakukan ini padaku!"

Aku menoleh ke sumber suara—ke belakang. Kulihat di sana, seorang wanita sedang ditarik rambutnya.
Rambutnya begitu panjang dan berantakan, tubuhnya dipenuhi oleh luka, dan wajahnya juga. Ada noda darah di bibirnya dan bibir sebelah kanannya robek.

Aku menutup mulut. Menatap ngeri wanita yang sedang ditarik rambutnya. Rambutnya sangat panjang. Menurut perkiraanku rambutnya mencapai tiga meter.
Hal yang baru aku ketahui adalah ... dia ...,

Berasal dari Suku Glacier.

GLACIER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang