Bab 31: Abu Dari Masa Lalu

8 4 0
                                    

AKU menutup mulut. Menatap ngeri wanita yang sedang ditarik rambutnya. Rambutnya sangat panjang. Menurut perkiraanku rambutnya mencapai tiga meter.
Hal yang baru aku ketahui adalah ... dia ...,

Berasal dari Suku Glacier.

Itu terbukti karena dia memiliki rambut panjang dan memakai baju tradisional khas Suku Glacier, dan orang yang menarik rambutnya sedang mengambang. Dia juga wanita, memiliki rambut panjang sepanjang empat meter, berkulit putih dengan mata yang bercahaya.

Aku terkejut setengah mati.

Itu ... Dewi Arghi, Sang Dewi Sungai!

"Dia mencintaiku dan aku mencintainya! Kau tidak bisa memisahkan kami!” teriaknya, dengan marah bercampur air mata.

Sang Dewi terdiam dengan masih menarik rambutnya. Entah kenapa tahu-tahu aku juga ikut menangis sama seperti wanita itu. Dia tampaknya sedang dihukum oleh Dewi. Aku tidak tahu kesalahan apa yang dia perbuat, yang jelas, melihat dirinya di hukum saja membuatku ngeri.

Kulihat, Sang Dewi Membuka mulutnya, berkata, "Aku tidak ingin pengikutku berbaur dengan dunia luar. Dunia luar terlalu berbahaya, wahai wanita suci yang ternodai."

Wanita itu tersentak. Dia menggeram, menyentuh tangan Sang Dewi seraya minta dilepaskan. Sang Dewi justru mengeluarkan kekuatan dari tangannya, sebuah petir berwarna kuning. Aku mundur beberapa langkah ketika melihat petir itu dari tangannya. Tubuhku gemetaran. Apa yang akan Dewi lakukan?

"Dengan ini aku ... akan mengutuk kalian ... semoga kalian hidup bahagia."

"TIDAAAAAKKKK!"

Aku berjongkok sambil menutup mata dan telinga. Sebuah ledakan besar seketika berbunyi membuat telingaku perih. Tak hanya itu, ledakan itu juga sukses membuat tubuhku terhempas sampai terguling beberapa meter.

Aku mengangkat kepalaku dan berusaha menggerakkan kedua tanganku. Rasanya ... sakit sekali. Aku meringis dengan sesekali mengeluarkan air mata.

Sebenarnya ... tempat apa ini? Semua kembali menghitam seperti sedia kala. Aku terduduk sambil memegang kedua pergelanganku. Aku mencoba menahan rasa sakit, tapi tampaknya, rasa sakitku lebih kuat dari yang aku duga.

"Kawanku Andihita, apa yang harus kulakukan?"

Aku menoleh ke sebelah kiri. Di sana aku mendapati Sang Dewi sedang duduk di atas pohon, berbicara dengan seorang pria kekar yang sedang mengambang di atas tanah. Pria itu memakai aksesoris berwarna emas, berambut hitam, dengan selendang merah yang melilit pinggangnya. Matanya juga bercahaya, sama seperti Sang Dewi. Kulihat, dia menunduk seperti orang yang sedang berpikir.

"Mungkin kau tidak akan setuju Arghi, tapi dia benar. Kau harus memberi mereka kebebasan, sedikit demi sedikit ...."

Mereka berdua melebur menjadi abu, sama seperti peristiwa di musim gugur itu. Aku dengan perlahan mencoba untuk berdiri. Baru saja aku mengangkat sebelah kaki, aku dikejutkan dengan sosok anak laki-laki yang berlari melewatiku. Umurnya sekitar sepuluh tahun.

Kulihat dia tampak tergesa-gesa dengan membawa mangkuk yang berisi air. Dia berjongkok di hadapan anak perempuan yang sedang duduk. Anak perempuan itu duduk bersandarkan pohon beringin. Wajahnya pucat dengan tubuh yang terkulai lemas. Rambutnya panjang menjuntai sepanjang satu setengah meter dengan pakaian tradisional lusuh di tubuhnya. Kira-kira dia seumuran dengan anak laki-laki itu.
Aku lantas memicingkan mata. Rasanya aku kenal dengan anak perempuan itu.

Anak laki-laki itu menyuruh si anak perempuan meminum air yang ada di mangkuknya. Si anak perempuan menurut, meminum air itu dengan pelan dan kemudian terbatuk-batuk.
"Eh, kau tidak apa-apa?" Si anak laki-laki langsung khawatir ketika melihat si anak perempuan batuk. Si anak perempuan mengangguk lemas. "Aku tidak apa-apa."

GLACIER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang