Bab 45: Mencemaskan Hal Yang Tak Terlihat

10 3 0
                                    

SOAN tiba-tiba saja bangun. Mungkin karena angin dingin masuk dari celah-celah kuil atau entahlah. Tidak ada yang membangunkannya. Karena setelah beberapa saat kami berada di sini—lebih tepatnya setelah kami menyalakan api di cerobong asap—tidak ada yang saling mengobrol setelah perginya Vail dan Kakek Ebe. Semuanya hening, dan langsung lengang juga.

Para beruang dan harimau pun saat ini sedang membaringkan diri di lantai kuil. Inso mungkin sudah menutup mata saat dia berguling di lantai kuil setelah kami menyalakan api. Ketiga beruang kami—dua diantaranya ada yang sudah tidur, sementara Lan—beruang betina kami, masih membuka mata.

Aku dan Kak Tallu diam dengan duduk bersandarkan dua perut beruang yang sudah tidur—Ozh dan Bua. Sementara Kaie menatap api sembari memikirkan sesuatu.

Soan mengusap matanya dengan kedua tangan, dia pun sesekali meregangkan badannya dan melihat ke arah Ibunya. Kak Tallu mendesis seraya hendak menidurkan Soan, khawatir kalau dia tiba-tiba rewel. Aku pun sama khawatirnya dengan Kak Tallu dan aku pun ikut mendesis menenangkan. Kaie yang awalnya menatap api, sontak menoleh ke arah kami. Penasaran.

Aku maupun Kak Tallu berusaha menidurkan Soan kembali karena bagaimanapun, tampaknya kondisi ini lebih baik dipakai oleh bayi untuk tidur daripada bangun.

Sayangnya, mau seperti apa pun kami berusaha, Soan tetap bangun, dan dia sudah membuka matanya lebar-lebar. Dia bahkan menoleh ke sana-kemari, mungkin bingung karena dia dan keluarganya tidak di rumah.

“Ake, Ake.” Dua kata terucap. Aku, Kak Tallu, dan Kaie tertawa sedikit. Entah kenapa setelah ketegangan ini, kata-kata bayi Soan yang manis membuat hati kami jadi sedikit tenang. Kak Tallu menggeleng. “Kakek sedang pergi.”

“Aman Ai?”

“Paman Vail juga sedang pergi.”

Aku sudah beberapa kali mendengar Soan berceloteh dengan bahasa bayinya, dan itu masih membuatku merasa sangat gemas.

Kulihat Soan menguap. Kak Tallu mengeratkan selimut yang menyelimuti tubuhnya yang mungil. Dia hendak menutup mata, tapi matanya kembali melebar kala dia melihat Kaie.

Kaie saat ini sedang mengatur kayu bakar, dan kulihat dia juga sesekali memasukan satu atau dua kayu bakar kering yang kami bawa dari rumah. Soan tiba-tiba saja bangkit dari pangkuan Kak Tallu dan setelah itu merangkak ke arah Kaie. Kak Tallu awalnya bingung, sampai dia tahu apa yang dilakukan gadis kecil itu. Ya, dia malah tidur di pangkuan Kaie.

Kaie yang saat itu sedang sibuk mengatur api unggun tiba-tiba saja dikejutkan dengan kedatangan gadis manis ini, dan siapa sangka setelahnya, gadis manis itu duduk di pangkuannya, dia langsung tertidur.

Kak Tallu tertawa melihat tingkah putrinya, sementara aku mengerucutkan bibir. “Dia tidak pernah begitu padaku,” gerutuku. Kaie dan Kak Tallu tertawa. “Nah, sepertinya Soan sudah memutuskan siapa orang kesukaannya,” ucap Kak Tallu. Ucapannya sangat tidak membantu.

Aku cemburu. “Orang yang Soan sukai ‘kan aku.”

“Aku juga orang yang disukai Soan.” Kaie menyela dengan bangga sembari mengusap kepala gadis kecil ini. Aku menatapnya galak, sementara Kak Tallu memberikan selimut kepada Kaie agar Soan tetap hangat. Ya, anak itu menjatuhkan selimutnya saat dia merangkak.

“Diam kau, aku cemburu.”

“Eh?” Kaie berkedip. “Kau cemburu?”

“Ya, aku cemburu Soan lebih menyukaimu daripada aku. Aku ‘kan Bibinya,” jelasku, dengan mengerucutkan bibir sambil menatapnya dengki. Kaie tertawa. Dia juga sesekali membetulkan selimut yang menutupi Soan. “Kau lupa ya. Aku ini pamannya, aku berhak disukai Soan.”

GLACIER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang