Bab 43: Menunggu Dua Orang

10 4 0
                                    

“HAH?” Ini bukan nada terkejut, ini adalah nada tidak mengerti dariku.

Dengan masih tersenyum, Kaie menatap Soan, dan gadis kecil itu sesekali meraih jari tangan Kaie yang lebih besar darinya. Hal itu secara tak langsung membuatku melihat tangan mungil anak manusia dan juga jari manusia raksasa. Ini mengingatkanku pada dongeng yang pernah diceritakan Nenek. Seorang Gadis dan Raksasa Dari Sungai. Begitulah judulnya.

“Saat itu kau menginap di kediamanku dan tidur. Malam itu, Ibuku berceloteh ria tentangmu. Aku ingat betul, hal yang dia ceritakan tentang bagaimana kau datang, betapa manisnya dirimu, tentang rambutmu yang panjang, dan tentang bagaimana kau bersikap malu-malu di depan keluargaku.”

Aku melotot, khususnya dibagian Kaie menjelaskan betapa malu-malunya diriku. Ya, saat itu aku murni memang agak malu dan gugup karena ini untuk pertama kalinya aku pergi ke rumah orang yang beda suku—bukan anak perempuan pula. Mungkin jika Kaie adalah perempuan, aku bisa leluasa bersikap dan bertingkah lebih percaya diri, tapi karena Kaie adalah anak laki-laki dan bisa mengeluarkan petir ... bukan hanya gugup dan malu yang kurasakan saat itu, tetapi juga takut.

“Namun meskipun begitu, pada akhirnya kau dianggap sebagai seorang Dewi yang tiba-tiba masuk ke Teritori Suku Daun sebagai aku penemunya. Ibuku senang bukan kepalang, dan berharap suatu hari nanti bisa ... ah, sudahlah.” Kaie membuang muka. Dia menggantungkan kata-katanya dengan pipi bersemu tak jelas. Aku mengernyitkan kening. Antara kesal dan penasaran dengan kata-kata terakhirnya.

“Bisa? Bisa apa?” tanyaku. Kaie menggeleng. Matanya enggan menatapku balik. “Ti-tidak apa-apa.”

Aku berdiri dengan lutut, mendekatinya, lalu menggoyang-goyangkan badannya. “Katakan padaku, maksud Ibumu itu bisa apa?”

“Ti-tidak tahu, aku tidak paham.”

“Jangan bohong! Wajahmu memerah padam, dan setelah ini kau pasti akan izin keluar ‘kan? Kau tidak boleh keluar setelah menjelaskan semuanya!” suruhku. Aku langsung mengeluarkan ultimatum seraya menyentuh kedua pundaknya agar lelaki ini tidak pergi. Yah, mau pergi keluar pun, di sana sangat dingin, dan lagi, aku heran kenapa Kaie sangat suka sekali dengan sesuatu yang dingin sementara orang lain lebih memilih menetap di tempat hangat meski sedang kepanasan—khususnya di musim dingin.

Oke, mungkin ultimatum yang kuberikan persis seperti menyiksa orang, tapi justru melihat Kaie yang kadang pergi dengan alasan kepanasan membuatku berpikir kalau lelaki ini seperti sedang menyembunyikan sesuatu, dan aku sangat penasaran dengan itu.

Ditengah keributan ini, sayup aku dan Kaie mendengar suara pintu terbuka dengan angin kencang, dan kami berdua sama-sama melihat. Di sana, Kak Tallu berdiri di ambang pintu dapur yang menyatu dengan halaman belakang rumah, dengan mata yang menatap keluar.

Kalau kulihat dengan saksama, tatapannya seperti sedang mengisyaratkan kekhawatiran dengan alis melengkung ke bawah dengan bibir yang mengatup rapat.

Aku melepas pundak Kaie dan berdiri. Aku juga bahkan memberikan kudapan labu dan juga sumpit pada Kaie. “Suapi Soan, aku segera kembali,” kataku, dan Kaie mengangguk.

Aku kemudian menghampiri Kak Tallu. Kakiku melangkah dengan diiringi suara lantai kayu yang cukup menggema dan juga aksi jongkok ketika aku sudah sampai di pembatas antara lantai kayu dan juga tanah. Dapur ini memiliki dua pijakan; pijakan kayu dan juga pijakan tanah.

Bagian pijakan kayu umumnya digunakan sebagai lantai penghubung ke tempat makan, ruang tengah dan beberapa ruangan lainnya seperti kamar dan lain-lain, dan juga lantai kayu biasa digunakan sebagai tempat makan sekaligus tempat untuk menyimpan beberapa alat masak—mengingat pijakan lantai kayu ini juga terdapat beberapa lemari yang berfungsi untuk menyimpan barang. Sedangkan pijakan tanah dipakai untuk menyimpan kayu bakar, tungku, dan juga memasak.

GLACIER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang