Bab 28: Obrolan di Tepi Sungai

10 5 0
                                    

AKU duduk di atas batu begitu aku melempar umpan dan kailku. Aku ingin duduk di atas tumpukan salju, hanya saja aku sadar kalau duduk di sana hanya akan membuat bokongku dingin dan basah, dan lagi, aku merasa beruntung karena menemukan tempat yang pas dan nyaman untuk memancing.

Aku awalnya ingin memancing di tempat biasa aku berdoa dan melakukan ritual. Hanya saja, karena terlalu sering dipakai untuk beribadah, aku memutuskan untuk mencari tempat lain saja. Rasanya entah kenapa jadi terasa suci saat tempat itu sering kami jadikan tempat ibadah.

Baik, kembali ke sesi memancing. Aku pun bertopang dagu dan kemudian menatap ke arah kail yang sudah tenggelam di air es. Aku menghembuskan napas sampai uap tipis keluar dari mulut. Aku melamun.

Tidak ada banyak hal yang aku pikirkan selain ingin cepat menguasai kekuatan penyegel. Entah kenapa aku jadi tidak sabaran sekali. Terus terang, aku kurang suka dengan sifatku yang ini. Aku yang biasanya bersikap santai ketika mempelajari sesuatu, entah kenapa jadi ingin mempelajarinya dengan cepat dan terburu-buru.

Astaga, aku ini memang benar-benar kurang sabar, atau memang ... sangat bersemangat?

Jika aku memang murni sangat bersemangat, aku berjanji pada diri sendiri jika aku sudah mendapatkan ikan, aku akan memakai ikan-ikan itu untuk media latihanku. Jika aku tidak bisa menggunakan media lain untuk latihan, sepertinya ikan adalah media yang tepat. Setidaknya, untuk saat ini. Jika musim dingin sudah berakhir dan aku masih belum menguasai kekuatan penyegel, aku memutuskan untuk mencari media lain.  

Media yang saat ini kupikirkan adalah ayam hutan, kalau tidak, ya, seekor kancil.

“Nila—”

Aku berdiri, mengambil busur dan panah kemudian melesatkannya ke arah suara itu. Tatapanku menajam, waspada terhadap suara yang telah memanggil namaku. Namun seiring waktu, tatapanku yang tajam mulai melunak dan malah berganti dengan tatapan syok.

Aku melihat ke depan.

Kaie menegang dengan mengangkat kedua tangan. Babi hutan—hasil buruannya—dia jatuhkan begitu aku melancarkan serangan, dan nasib anak panahku saat ini meleset tepat menusuk pohon yang ada di belakang sampai salju yang menempel padanya runtuh.

Aku diam sejenak, dan setelah itu panik. “Astaga, Kaie!”

Aku berlari ke arahnya, sementara Kaie menjatuhkan tangannya dengan lesu dan juga menghembuskan napas sambil menunduk. Aksinya malah membuatku jadi tambah khawatir. “Kaie, kau baik-baik saja? Kaie kau baik-baik saja?!” Aku menaikan nada bicaraku saat Kaie tidak menjawab. Oke, ini mengerikan. Aku akan menangis karena kesalahanku sendiri.

Kaie menatap mataku. Sorot matanya masih memancarkan raut wajah tegang, meski kalau dilihat dari luar dia tampak tenang. “Aku ... baik-baik saja,” sahutnya.

Aku langsung bernapas lega saat itu juga. Aku sangat bersyukur karena anak panahku meleset. Kalau seandainya anak panahku tepat mengenainya ... mungkin akan lain ceritanya.

“Kau ini tidak pernah berubah ya?” Kaie berujar tiba-tiba. Matanya menyorot ke arahku dengan kening mengerut. Aku menatapnya tidak mengerti. Apanya yang tidak berubah?

Dia kemudian seenak jidat mencubit kedua pipiku dengan gemas. Aku terkejut bukan main kemudian menangkap kedua lengannya seraya menghentikannya. “Sedari dulu kau selalu merasa takut dan waswas, bahkan sampai ada aku pun, kau tidak akan segan melesatkan anak panahmu,” seru Kaie. Aku mengaduh. Entah kenapa cubitannya semakin lama malah semakin keras. “Ah! Kaie, lepaskan!”

Kaie melepaskan kedua pipiku dengan terkekeh. Aku memegang kedua pipi. Aku bisa merasakan denyutan yang ada pada keduanya. Kaie mencubit pipiku terlalu keras. Aku menautkan kening dan menatapnya tajam. Aku marah padanya.

GLACIER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang