Bab 36: Bermain Bersama Soan

12 4 0
                                    

AKU menghela napas sangat-sangat panjang lalu berjongkok dan meratapi diri di dapur dengan pandangan yang mengarah ke ember yang berisi ikan. Aku meringis, lalu menundukkan diri.

Tidak, tidak bisa ....

Kenapa aku selalu tidak bisa menyegel seekor ikan?!

Menurut Kak Tallu, wajar kalau aku harus terus belajar karena mempelajari kekuatan penyegel itu perlu waktu, tapi masalahnya adalah, aku pernah menyegel Kaie! Dan itu seharusnya menandakan kalau aku bisa menguasai kekuatan penyegel lebih cepat!

Aku bukannya ingin berlomba dengan Kak Tallu, aku hanya ... merasa aneh saja. Mengapa aku bisa menyegel manusia, sementara menyegel seekor ikan saja aku tidak bisa!

Aku kemudian menghela napas dengan sangat gusar, dan sayup-sayup di luar kudengar Kakek Ebe berbicara dengan Kak Tallu. Karena penasaran, aku pun melangkah menuju pintu masuk, baru saja aku sampai diambang pintu, Soan langsung memanggilku.

“Ibi! Ibi!”

Dan setelah panggilan itu, Kakek Ebe tiba-tiba saja berpamitan ke arahku dan Kak Tallu, ada Vail juga di sana. Mereka kemudian pergi meninggalkan rumah dengan punggung yang membawa tas masing-masing. Aku bingung, lantas menghampiri Kak Tallu, “Kak, ada apa ini? mereka ke mana?”
  
“Mereka pergi ke masing-masing Suku. Kemarin mereka mendapat surat dari seekor merpati bahwa mereka harus kembali ke Ameer dan Amuuy untuk menghadiri pertemuan penting,” jawab Kak Tallu. Aku ber’oh’ sambil mengangguk paham. Ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. “Bukankah Kakek Ebe mengasingkan diri dari Suku Amuuy, ya? Kenapa dia harus kembali?”

“Itu adalah permintaan dari Tetua Adat yang ada di sana, jadi wajar kalau dia harus pergi,” jawabnya lagi. Aku mengangguk. Baiklah, masuk akal juga. “Ah, lalu Kaie di mana?” tanyaku, tiba-tiba.

Entah kenapa aku jadi terpikirkan lelaki itu. Sedari pagi, aku tidak melihatnya, sama sekali.

“Kalau dia sedang pergi berburu.”

“Oh, begitu.”    

“Ibi! Ibi!” Soan memanggilku dengan sesekali mengulurkan kedua tangannya ke arahku. Aku tersenyum, lalu mengulurkan kedua tanganku juga seraya meminta Kak Tallu--secara non verbal--untuk mengendong Soan, dan gestur tubuh Soan pun persis seperti anak manis yang ingin digendong oleh orang lain. Kak Tallu menyadari itu, dan aku pun akhirnya berhasil menggendong Soan, lebih tepatnya, dia menyerahkan Soan padaku.

“Nah, karena Soan sedang ingin bersamamu, aku akan membuat kudapan untuk makan malam nanti. Kebetulan Vail membelikan kita labu, jadi kita makan kudapan labu.”

“Kenapa dia memberi kita labu? Lalu kenapa kau senang sekali ketika kau menerima labu darinya?” tanyaku, agak curiga. Pipi Kak Tallu memerah. Aku mengerjap. Apa dia kepanasan? Sekarang masih musim dingin, dan musim semi akan muncul dua bulan lagi, dan lagi, aku juga tidak merasakan hawa panas apa pun karena hawa yang kurasakan saat ini adalah hawa dingin.

“Ah, kalau soal itu, entah kapan kau pasti akan mengerti. Sudah ya, tolong jaga Soan,” ucapnya, seraya mengakhiri percakapan, lalu masuk ke dalam.

Aku menatap Kak Tallu dengan bingung. Kenapa dia selalu bersikap aneh kalau bersama Vail ataupun jika nama Vail disebut? Jujur, selama dua tahun ini, aku tidak pernah mengerti, dan mungkin aku tidak akan pernah mengerti arti ucapannya. Namun, jika dia berharap suatu hari nanti aku akan mengerti, ya ... baguslah. Aku juga berharap, aku mengerti.

“Mbi! Ibi!”

Soan tanpa sengaja menghancurkan rasa curigaku dengan suara bayinya. Aku lantas tersenyum lembut ke arahnya, kemudian menggelitiki dia sesekali. Tawa gelinya membahana, membuatku tersenyum lebar.

GLACIER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang