Bab 17: Hancurnya Suku Daun

9 5 0
                                    

MATAHARI sudah tenggelam di ufuk timur. Bulan bersinar dengan terang di atas sana, membuat kami harus ekstra hati-hati saat menelusuri hutan. Setidaknya, dengan cahaya bulan, hutan jadi sedikit lebih terang.

Di punggung Inso, Kaie sedang sibuk menyalakan obor. Dia mengeluarkan petirnya dari telunjuknya. Aku menatapnya dengan ngilu. Bisa tidak, dia tidak melakukan itu meskipun tujuannya hanya untuk menyalakan api?

Beberapa saat kemudian, akhirnya api menyala. Sekitaran hutan jadi sedikit lebih terang sekarang.

"Aku dengar, Suku Daun adalah Suku Kekuatan, apa itu benar?" tanya Kak Tallu. Dia memulai obrolan. Kaie mengangguk. "Iya, tahu dari mana?"

"Gulungan tentang Sejarah Antar Suku. Nenek dan Ibu kami yang menjelaskannya," kata Kak Tallu. Aku mengernyit. Aku tidak ingat Nenek dan Ibu pernah menjelaskan hal itu. Ah, atau jangan-jangan, mereka menjelaskannya saat aku tidak sengaja tertidur?

Aku ingat sekali, Ibu dan Nenek mengomeliku karena aku tidak memperhatikan dan mendengarkan penjelasan mereka, dan saat itulah aku di hukum membersihkan kandang Qeon dan membersihkan seluruh rumah seorang diri dalam waktu seminggu. Kenangan yang pahit. Bukan salahku kalau aku tidak bisa tidur di malam sebelumnya.

"Oh." Kaie menjawab dengan pendek. Tidak tahu harus berkata apa.

Hening. Tidak ada yang memulai obrolan. Aku yang biasanya memiliki pertanyaan mendadak bisu. Tidak tahu harus bertanya apa.

"Nila, kau jadi pendiam sekarang, ada apa?" tanya Kaie. Aku mengerjap, terbangun dari lamunan. "Ti-tidak, tidak apa-apa."

""Tidak apa-apa" berarti "ada apa-apa" 'kan?" tanya Kaie dengan tersenyum jahil. Aku menatapnya tajam. Tidak terima dituduh seperti itu.

"Kalau ada apa-apa ceritakan saja. Aku dan Inso, siap mendengarkan."

"Kenapa kau perhatian sekali dengan adikku?" Kak Tallu langsung bertanya. Tampak penasaran dengan Kaie yang tiba-tiba perhatian.

Kaie mendehem, "bagaimana kalau kita bergerak lebih cepat?" Entah dia mengubah topik pembicaraan atau benar-benar memberi saran, Kak Tallu memutuskan untuk mengangguk saja.

Kak Tallu menggebahkan Qeon, begitu juga dengan Kaie. Qeon dan Inso melaju dengan sangat cepat. Kaie mengangkat obornya tinggi-tinggi, berusaha menerangi jalan dengan cahaya temaramnya. Aku terkadang merasa takut kalau api yang ada di obor itu akan mengenai ranting atau dahan. Intinya, aku takut hutan ini akan terbakar karena obor yang dipegang oleh Kaie.

"Eh, kenapa di sana terang sekali?" Kak Tallu menatap ke depan. Dilihatnya sebuah cahaya yang membentang di sana. Aku yakin sekali arah sini adalah jalan menuju Suku Daun. Aku mencoba mengingatnya meskipun samar-samar karena terkadang, pemandangan malam dan siang menjadi sedikit berbeda meskipun kita melangkah di jalan yang sama.

"Itu bukan matahari yang terbit dari barat 'kan?" tanyaku, waswas. Pertanyaanku terdengar sangat tidak lucu, aku tahu. Kaie menunduk dan mengernyit, lantas melajukan Inso secepat mungkin.

Kak Tallu menggebahkan Qeon, memintanya bergerak lebih cepat, menyusul Kaie. Kaie mendadak tegang. Ada yang tidak beres dengannya, begitu pikirku. Langkah kami hampir sejajar, tapi Kaie melajukan harimaunya lagi.

Menyebalkan. Aku ingin bertanya padanya kenapa dia tegang seperti itu, tapi untuk saat ini tampaknya dia lebih memilih mengabaikanku.
Cahaya itu semakin lama semakin dekat. Panas. Aku merasakan bau yang sama. Bau ini ... persis seperti saat aku tiba di Glacier.

Kedua hewan tunggangan kami melompat bersamaan. Akhirnya Qeon berhasil menjajarkan dirinya dengan Inso. Namun, dalam satu detik, netra kami membesar. Kaie yang lebih dulu turun, berlari, dan menjerit memanggil keluarganya.

GLACIER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang