Bab 18: Kesedihan Dalam Teh Mawar

8 3 0
                                    

RINTIK hujan tiba-tiba datang secara alami membuat aku, Kaie, Kak Tallu, Inso, dan Qeon harus meneduh di tempat yang kering. Dengan suara parau, Kaie menuntun kami ke sebuah gua yang tidak jauh dari Teritori Suku Daun. Gua itu cukup besar, muat untuk menampung kami semua di dalamnya.

Kak Tallu membuat api, sedangkan aku mengumpulkan dedaunan untuk alas tidur. Kaie diam, menatap api yang sudah dibuat Kak Tallu dengan mata sembab. Aku melangkah, hendak mendekatinya, tapi Kak Tallu langsung mencegahku. "Biarkan dia sendiri dulu," bisiknya. Aku mengangguk. Menatap Kaie sebentar lantas kembali merapikan dedaunan.

Kak Tallu benar. Kaie baru saja ditimpa kemalangan. Dia syok, perlu waktu untuk berpikir sampai logikanya bisa menerima semua ini.

Qeon membuka mulut--menguap dan langsung berbaring seenak jidat di dedaunan yang sudah aku susun. Aku menghela napas. Aku sudah susah payah menyusunnya dan malah ada makhluk lain yang tidur di sana. Kak Tallu terkekeh, "sudah, biarkan saja, dia kelelahan karena membawa kita berdua, dia menganggap itu sebagai hadiah karena kerja kerasnya."

Aku hanya bisa tersenyum menanggapi apa yang Kak Tallu katakan. Aku pun menghela napas. Jika aku tidak mendapatkan alas tidur, setidaknya rambut panjangku bisa menggantikannya.

Aku kemudian melepas ikat rambut dan beberapa bunga yang menempel di kepala. Tiba-tiba aku teringat dengan Jia. Dia anak perempuan pertama yang berasal dari suku lain yang mengepang rambutku. Aku menatap bunga itu cukup lama, kemudian melemparnya ke api unggun.

Mendadak pikiranku sendu. Meski aku tidak yakin akan kembali lagi ke Suku Daun, tapi jujur saja, aku ingin bertemu lagi dengan Jia. Dia sudah seperti adikku sendiri, dan kalau bertemu pun, aku akan mengajarinya cara merawat rambut dan memberinya ramuan agar rambutnya bisa cepat panjang. Namun sayangnya, itu hanyalah espektasi. Sang Dewi sudah merencanakan hal lain dan aku hanya bisa berharap.

Aku menatap Kaie sebentar. Kulihat Inso mendekatinya dan menyundulkan kepalanya ke lengan Kaie, meminta usapan. Inso mendapatkan usapan kepala dari Kaie, dia bahkan tidur melingkar di dekat Kaie. Namun Kaie tidak tersenyum. Sama sekali.

Malam semakin larut, aku memutuskan untuk tidur saja. Gemericik air hujan menyanyikan melodinya dan angin berseliweran seakan memainkan instrumennya.
Mataku berat, dalam sekejap aku tertidur karena permainan sang hujan.

-

Pagi langsung serta-merta menyambut kami. Bunyi dan aroma hutan langsung tercium ketika aku bangun dari tidurku.

Aku meregangkan tubuhku sebentar. Tidurku cukup nyenyak meski terkadang ada beberapa kerikil tajam yang menusuk punggungku saat tidur. Mungkin menjadikan rambut panjang sebagai media alas tidur tidaklah efektif. Akibatnya, rambutku jadi kusut dan kotor, dan mau tak mau saat itu juga aku merapikan rambutku dengan jari-jemariku.

Qeon masih berbaring dengan tenang, begitupun Kak Tallu. Aku tidak ingin membangunkan mereka, jadi kubiarkan mereka tidur sampai mereka bangun sendiri.

Kepala dan mataku kemudian mengarah ke sana-kemari seraya mencari sesuatu. Kaie dan Inso ... mereka tidak ada.

Suara rumput dan semak-semak yang bergesekan langsung mengganggu indera pendengaranku. Aku lantas melangkah keluar, mencoba mencari tahu di mana suara itu.

Setelah keluar dari gua, telingaku langsung disambut suara geraman yang mengejutkan. Itu ... Inso.

Dia sedang bermain dengan seekor burung sambil melompat ke sana-kemari. Aku tersenyum. Tingkahnya persis seperti seekor kucing yang sedang bermain. Dia bahkan sesekali menggoyangkan pinggul, lalu berlari mengejar burung yang sudah terbang tinggi.

Aku terkekeh, menghampirinya yang sedang menggoyangkan ekornya--pertanda kesal karena burung cantik tadi pergi begitu saja.

"Inso, Kaie mana?" tanyaku. Inso menghampiriku, lantas menunduk, dan memberiku isyarat bahwa aku dipersilakan duduk di atas punggungnya. Aku menerima isyarat itu dengan ragu kemudian menaikinya.

GLACIER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang