Bab 23: Berdoa Kepada Dewa dan Dewi

13 3 0
                                    

HARI kelima.

Aku menghitungnya dengan mengumpulkan batu yang ada di rumah Kakek Ebe.

Aku mengumpulkannya di bawah rumah, dan jika sudah satu bulan, aku berencana untuk melemparnya ke sungai sebagai tanda panjang umur. Anggap saja itu adalah sebuah keisengan yang kubuat-buat karena tampaknya ... aku mulai merindukan keluargaku.

Saat itu, di siang yang terik. Sinar matahari yang ada di atas sana tampaknya hanya bisa menembus sedikit dedaunan yang ada di sekeliling. Bunyi tonggeret menjadi teman perjalanan kami. Aku, Kaie, dan Kak Tallu saat ini sedang berjalan menuju sungai untuk berdoa.

Kaie sendiri yang memimpin jalan, karena pertama, dia tahu jalan menuju sungai dan yang kedua, dia juga ingin mendoakan seluruh keluarga dan warga Suku Daun yang telah tiada.

Aku dan Kak Tallu juga demikian. Sekitar empat hari yang lalu, aku tampak selalu diam. Tidak secerewet biasanya, itu kata Kaie. Namun, setiap malam aku selalu tiba-tiba menangis tanpa alasan. Barulah setelah hari ketiga, aku menyadari sesuatu ....

Aku merindukan keluargaku.

Karena itulah aku memutuskan untuk mengajak Kak Tallu berdoa dan mempersembahkan sesaji kepada mereka melalui sungai. Sesaji yang kami berikan hanyalah bunga-bunga yang tumbuh liar di sekitar rumah Kakek Ebe. Kaie juga membawa sesaji. Sesajinya berupa buah-buahan. Dia bilang, buah-buahan ini untuk bekal orang-orang yang sudah tiada.

Aku agak merinding, tapi disisi lain aku menghormati tradisinya.

Suara air meriak cukup tenang. Kaie memberi kode kepada kami bahwa kami sudah sampai. Dia memotong daun dan ranting yang menghalangi jalan dengan pedangnya. Setelah Kaie membersihkan 'gangguan' yang ada di depan, akhirnya kami pun sampai di sungai.

Airnya berwarna hijau dengan aliran yang cukup tenang. Di kiri-kanan sungai, terdapat berbagai macam bebatuan dan juga pepohonan yang rindang nan hijau.

Oh, apa kau ingin tahu kenapa kami melakukan ritual ini di sungai? Karena pertama, Dewi Arghi adalah Dewi Sungai. Persis seperti namanya dan juga makna filosofi dalam kepercayaan kami, "Sungai adalah tempat berlabuhnya perahu, jika kau mengalir di aliran yang lurus, maka kau akan menemukan tempat yang seharusnya." Itu lah filosofi kepercayaan kami. Kedua, Dewa Andihita adalah Dewa Alam. Jadi, tidak masalah kalau Kaie melakukan ritual di tempat lain. Entah itu di gua, di sungai, atau di hutan sekalipun.

"Hati-hati ya, sungai di sini cukup dalam." Kaie memperingati kami. Aku dan Kak Tallu mengangguk.

Kami semua lalu mendekati sungai dan berjongkok di dekatnya. Oh, aku tahu mengapa sungai di sini berwarna hijau. Di dalamnya, terdapat lumut yang tumbuh panjang dan lebat. Bisa kubayangkan jika aku masuk ke dalam air, aku pasti akan terpeleset karena licinnya lumut, dan kemudian tenggelam.

Membayangkannya saja aku sudah ngeri, apalagi mengalaminya.

Ah, ritual pun dimulai.

Aku, Kak Tallu, dan Kaie dengan segera menghanyutkan sesaji yang sudah kami bawa. Sesaji-sesaji itu hanyut ke sungai, beberapa ada yang tenggelam--itu sesaji milik Kaie.
Kami semua menangkup kedua tangan, menaruhnya di dada, memejamkan mata, dan berdoa.

Hening. Tidak ada keributan apa pun saat ritual berlangsung, yang ada hanyalah suara tonggeret yang menyertai ritual duka ini dan juga suara air mengalir.

Aku mengusap pipiku. Air mataku luruh tanpa sengaja. Aku tidak ingin Kak Tallu dan Kaie melihatku dalam keadaan menangis. Bukannya aku ingin pura-pura kuat. Aku hanya tidak ingin ritual ini berakhir merepotkan.

"Menangis saja." Aku membuka mataku lantas menoleh ke arah si pemilik suara. Mata Kaie memerah, dan dia menatapku dengan menautkan alis. "Jujur saja, di saat-saat seperti ini aku tidak mau berpura-pura," katanya dengan berbisik, takut menganggu Kak Tallu yang sedang khusyuk berdoa.

GLACIER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang