Prolog

116 17 2
                                    

Alexandra Raina. Biasa dipanggil Ara. Gadis 17 tahun itu memiliki tinggi 173 cm dengan tubuh berisi di bagian yang tepat. Kulitnya seputih susu nan selembut awan. Sepasang mata coklatnya yang terang dipayungi bulu mata lentik serta hidung mancung. Ditambah bibir bawah terbelah tengah, tak ayal lelaki manapun yang melihatnya akan menoleh lebih dari sekali.

Sayangnya, kecantikan yang diagungkan kaum adam itu kini tengah tersembunyi dalam balutan masker hitam yang menutupi dari hidung ke bawah, hanya menampakkan sepasang mata berlensa biru terang dan bulu mata palsu. Tak lupa, kening tak seberapa lebar yang biasanya terekspose pun kini tertutup poni. Sementara tubuh sintalnya berbalut rok ketat setengah paha dan kaos putih sebatas pusar berlapis jaket kulit.

Langkah kakinya yang terbalut sepatu boot menggema dalam koridor sebuah sekolah bergengsi. Bangunan berlantai 4 yang Ara pijaki adalah SMA SEVENITH, tempat menimba ilmu anak-anak beruang, dan Alexi merupakan salah satunya; saudari kembar yang baru Ara ketahui--ada--dua bulan lalu secara tak sengaja.

Setelah mencari informasi ke sana kemari akhirnya di sinilah Ara berakhir. Berbekal uang tabungan selama dirinya bekerja dan sedikit merampok uang di brangkas Madam Berlin, Ara nekat meninggalkan kota kelahiran menuju Ibu Kota. Berdoa saja semoga Ibu asuhnya itu tidak sadar jika beberapa lembar uangnya hilang. Ara menyebutnya sebagai uang kompensasi atas pekerjaan yang selama 2 tahun ia tekuni. Yakni menjadi wanita penghibur.

Pun alasan Ara menyembunyikan wajahnya ialah karena tak mau membuat masalah untuk adik kembarnya yang terkenal introvert. Terpantau dari keseharian gadis itu yang selalu bersama orang yang sama setiap harinya. Sepasang sahabat; lelaki dan perempuan yang kerap nongkrong bersama sepulang sekolah.

Sudah dua minggu ini Ara menguntit Alexi, mulai dari sekolah, rumah hingga tempat tongkrongannya. Satu kata untuk hidup kembarannya tersebut, yakni sempurna. Cantik, baik hati dan kaya raya. Berbanding terbalik dengan hidup Ara yang berisi penuh dengan masalah nan kemalangan.

Bukan berarti Ara cemburu apalagi iri serupa dendam. Tidak sama sekali. Sebaliknya, Ara justru senang karena adiknya hidup dengan baik. Ditambah fakta jika Alexi memiliki riwayat jantung lemah sejak lahir, Ara sangat amat bersyukur kini Alexi bisa hidup tanpa kekurangan dan terlihat sangat sehat nan bahagia. Dalam hati Ara mengucapkan terimakasih ribuan kali kepada sepasang suami-istri yang telah menemukan serta merawat adiknya dengan sepenuh hati.

Berbekal keberanian serta waktu yang tepat, Ara menyelinap masuk ke SEVENITH yang hari ini mengadakan penggalangan dana untuk orang-orang yang membutuhkan. Acara ini rutin dilakukan tiap tahun dan merupakan bagian dari peringatan berdirinya SEVENITH selama dua dekade--tepat tahun ini. Ada acara bazar sampai pencucian kendaraan bermotor, semuanya dilakukan dalam satu hari dan terbuka untuk umum.

Sepanjang langkah, Ara berhasil menarik perhatian seluruh murid SEVENITH yang berpas-pasan dengannya. Mereka antara takjub sekaligus penasaran darimana asal sekolah gadis terkesan panas nan dingin secara bersamaan tersebut. Oleh karena itu, tak ayal, banyak kaum lelaki yang menghentikannya hanya untuk berkenalan atau sebatas melempar gombalan. Yang semuanya ditanggapi Ara dengan pengabaian.

Menjadi magnet kaum adam bukanlah hal luar biasa. Sedari kecil Ara sudah merasakannya, menjadi pusat perhatian karena tubuh tinggi semampai nan wajah cantiknya yang seperti orang luar. Mengikuti gen sang Ayah yang memang asli Amerika. Terimakasih kepada Gen yang sang Ayah turunkan. Selain hal itu tidak ada yang baik dari pria yang telah meninggal pada usia 46 tahun setahun lalu tersebut.

Setelah tahu di mana keberadaan Alexi dari salah seorang siswi, Ara langsung menuju ke sana. "Tadi aku melihatnya naik ke atas. Mungkin Alexi ke atap. Dia memang kurang suka dengan keramaian." begitulah yang dikatakan siswi bernama Helen, terdeteksi dari pin di dada kirinya, guna membedakan antara murid SEVENITH dan sekolah lain yang sama-sama mengenakan pakaian bebas.

Naik ke lantai 3, suasana tampak sepi. Jika di lantai 2 Ara masih bertemu segelintir murid yang membelot dari tugas, maka di sini tak ada satu orang pun kecuali Ara sendiri. Dari atas sini Ara bisa melihat dengan jelas keseruan di bawah sana. Para remaja itu sedang bersenang-senang dengan air dan busa seolah tidak memiliki masalah.

Mereka memiliki banyak uang sehingga takkan tahu bagaimana rasanya berjuang. Mereka punya kekuasaan sehingga tak mengerti arti belas kasihan. Berbeda dengan Ara yang sepanjang hidupnya harus berjuang serta mengemis demi menutup kelaparan. Ironis sekali.

"Aa~," jeritan itu menarik Ara dari lamunan. Memang tidak terlalu kencang karena musik yang diputar di bawah sana hampir mengalahkan Klub malam.

Mendongak ke atas, jantung Ara nyaris jatuh ke perut saat menemukan seorang gadis tengah bergelantungan pada teras atap yang setinggi lutut anak kecil, tak jauh dari tempatnya berhenti. Terlebih pakaian yang gadis itu kenakan sangat Ara kenali, yaitu Alexi. Ara melihatnya saat adiknya itu keluar dari rumah sebelum berangkat diantar supir.

"Alexi!" teriak Ara, tapi tak terdengar, masih kalah dengan musik pemandu sorak.

Dengan jantung berdebar-debar hingga terasa sesak, Ara memaksakan kakinya yang lemas untuk berlari. Sesekali menjulurkan kepala melewati pagar pembatas setinggi perut guna memastikan posisi rawan adiknya tersebut.

"Alexi, bertahanlah!" seru Ara lebih kepada dirinya sendiri. Akan memakan waktu bila harus naik ke atap sedangkan Alexi bisa jatuh kapan saja.

Oleh sebab itu, Ara berlari tepat di bawah Alexi, sejajar garis vertikal. Kemudian naik ke atas pagar dinding, berjaga-jaga seandainya Alexi jatuh ke bawah. Di posisi ini, Ara bisa dengan jelas mendengar permohonan yang terselip di antara ketakutan Alexi.

"Tolong!"

"Alexi!" panggil Ara sekuat tenaga. Dan berhasil, adiknya itu menoleh ke bawah, menatapnya. Bisa Ara tangkap keterkejutan Alexi ketika melihatnya. Pasalnya Ara telah menurunkan maskernya ke bawah dagu.

Detik berikutnya, satu pegangan Alexi terlepas seraya berteriak histeris. Membuat Ara hampir terhuyung ke depan karena kaget setengah mati.

Melihat Alexi takkan bertahan lebih lama, Ara berancang-ancang kuat untuk menangkap Alexi seandainya jatuh. Dan benar, tak sampai hitungan ke-lima, tubuh Alexi terjun melawan gravitasi. Disusul Ara yang berhasil menangkap Alexi ke pelukannya, melingkupi tubuh kurus itu terutama kepala Alexi dengan cara mendekapnya erat di dada sementara satu tangannya yang lain memegang kuat pinggang Alexi agar tak terlepas darinya. Berikut kaki Ara mengapit kaki adiknya.

"Tenang, Alexi. Kakak akan melindungimu!" bisiknya serupa janji.

"Kakak?" panggil Alexi ragu.

Ara mengangguk. Bersamaan dengan air matanya luruh. Membentuk gumpalan air yang jatuh setelah terpisah dari sumbernya.

Ara makin mengeratkan pelukannya pada sang adik seolah takkan ada hari esok. Dadanya sesak tidak terkira.

"Ini Kakak, Alexi. Kakak menyayangimu." lirihnya menutup mata.

Kemudian Ara merasakan tubuhnya remuk tepat saat menyentuh balok bata yang menjadi alas pembaringannya. Bermuara dari kepala lalu menjalar ke sel-sel sarafnya dari ujung kaki hingga ubun-ubun. Sebelum akhirnya Ara tidak bisa merasakan apa-apa.

Semuanya gelap dan hampa.

I'm (Not) ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang